BELAJAR 'HIDUP BENAR' DARI MASYARAKAT BADUY

Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah suku yang terbilang banyak. Jadi tak heran negara ini penuh dengan keragaman. Pada awal tahun 2019 (8-12 Januari) Jurusan Pendidikan Sosiologi Universitas Negeri Yogyakarta angkatan 2017 mengadakan Kuliah Kerja Lapangan atau KKL dengan destinasi ke Suku Baduy yang terletak di Lebak, Banten. Keasrian alam, pola kehidupan dan masih dipegang teguhnya tradisi atau nilai-nilai leluhur serta bahasa keseharian mereka yakni bahasa Sunda yang membuat kami tertarik untuk menyambangi saudara-saudara kita yang ada di sana.

Suku Baduy khususnya Baduy Dalam merupakan salah satu suku di Indonesia yang masih memegang teguh nilai dan norma leluhur mereka. Kenapa disebutkan khususnya Baduy Dalam? Hal ini dikarenakan Baduy Dalam tidak mendapat intervensi sama sekali baik dari pemerintah maupun pihak-pihak lain dalam menjalankan adat istiadat ataupun pola hidup keseharian mereka. Mereka betul-betul bergantung pada alam dan tetap menjaga nilai serta norma dari leluhurnya hingga saat sekarang ini. Meskipun begitu, masyarakat Baduy Dalam tetap mengakui bahwasanya mereka tinggal di tanah Indonesia dan tahu informasi mengenai Indonesia melalui kabar yang disampaikan oleh orang-orang tertinggi di daerah Suku Baduy Dalam misal kepala suku dan ketua adat. Berbeda dengan masyarakat Baduy Luar yang mana mereka sudah mendapatkan intervensi dari pihak-pihak luar, bisa dibuktikan dengan adanya masyarakat Baduy Luar yang memakai pakaian bebas atau bukan pakaian adat.

Bagian menarik selama agenda KKL di Suku Baduy Dalam ini yakni mengenai sistem adat khususnya kepercayaan yang dianut. Masyarakat Suku Baduy menganut kepercayaan Sunda Wiwitan. Kepercayaan Sunda Wiwitan menganut pada Nabi Adam atau mereka menyebutnya Nabi Adam Tunggal. Masyarakat Baduy percaya bahwa Nabi Adam Tunggal merupakan orang pertama yang turun ke bumi di mana letak jatuhnya yakni tepat di daerah Baduy. Kepercayaan ini juga menganggap arah selatan sebagai arah yang suci. Masyarakat Baduy percaya bahwa semakin ke selatan suatu tempat maka semakin sakral pula tempat itu.

Dalam kepercayaan ini, semua prosesi adat seperti pernikahan, upacara kematian, tanam padi, dsb dipimpin oleh pu’un/ketua adat dan prosesinya hampir sama seperti ajaran agama Islam. Hanya saja yang membedakan dengan agama Islam adalah menurut kepercayaan ini tidak ada tempat ibadah (mushola/masjid), simbol kepercayaan, dan bentuk ibadah layaknya agama Islam (misalnya sholat 5 waktu). Jadi dalam kepercayaan ini menurut penuturan Pak Ijom (selaku salah satu petinggi di masyarakat Baduy) bahwa “masyarakat Baduy tidak melakukan ibadah sholat 5 waktu melainkan hanya dianjurkan untuk hidup benar, kepercayaan Sunda Wiwitan kita diajarkan untuk hidup benar dan harus bisa ngaji diri atau dalam hal ini instropeksi diri”. Hidup benar di sini menganjurkan masyarakat Baduy untuk tidak rakus, sombong, tidak iri dengan sesama, dan tidak berbuat jahil/jahat. “Patokan orang sini hidup ini harus bener, harus patuh pada aturan”, tutur Pak Ijom.

Selain itu juga menganjurkan masyarakat Baduy untuk bisa ngaji diri atau introspeksi diri terhadap apa yang telah kita perbuat kepada sesama, apakah itu keburukan ataukah kebaikan. Menariknya lagi adalah pak Ijom menuturkan bahwa akan terasa percuma jika kita mengaji kitab setiap hari namun tidak bisa mengaji diri atas kesalahan/keburukan yang telah kita perbuat. Hal ini mengingatkan pada perilaku masyarakat di kota. Di mana mereka mengaji kitab agamanya setiap hari namun masih saja berbuat jahat, menyalahkan orang lain, timbul iri/dengki, sombong, rakus bahkan membunuh, suka mengolok-olokan sesama atau umat agama lain sehingga memunculkan konflik/perpecahan. Padahal isi dalam kitab atau agama yang dipercayai tidak mengajarkan hal demikian. Semua agama menganjurkan umatnya untuk tidak hanya berbuat baik atau saleh kepada Tuhan, melainkan juga harus berbuat baik kepada sesama ciptaanNya baik sesama manusia, binatang, tumbuhan maupun alam, dan tentunya seisi dunia ini. Jadi alangkah baiknya jika kita tidak hanya membaca kitab suci agama setiap hari saja, melainkan juga bisa mengimplementasikan ajaran-ajaran yang terkandung dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga menimbulkan keseimbangan dalam ketaatan beragama dan memunculkan perilaku hidup benar seperti yang telah dilakukan oleh masyarakat Baduy. (Cahyo Hadimulyo)