DISKUSI FISTRANS INSTITUTE: Relasi Ilmuwan dan Kekuasaan Rezim Otoriter Orde Baru

Untuk kesekian kalinya Forum Ilmu Sosial Transformatif (FISTRANS) Institute Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta (FIS UNY) menggelar diskusi bulanan dengan mengangkat tema “Relasi Ilmuwan dan Kekuasaan Rezim Otoriter Orde Baru” di Ruang Ki Hajar Dewantara FIS UNY, Jumat (13/4). Diskusi menghadirkan Dr. Max lane dari Victoria University dan Amika Wardana, MA dari FIS UNY sebagai pembicara. Dalam diskusi yang dibuka oleh Dekan FIS UNY, Prof. Dr. Ajat Sudrajat, M.Ag. tersebut dihadiri dosen dan mahasiswa di lingkungan FIS UNY. “Melaui Diskusi ini diharapkan bisa menumbuhkan budaya keilmuan di lingkungan FIS UNY, sehingga kedepannya FIS UNY bisa memberikan sumbangsih yang nyata bagi kemajuan bangsa Indonesia” jelas Ajat saat menyampaikan sambutannya di depan ratusan peserta diskusi.    
Dalam kesempatan tersebut Dr. Max Lane menyampaikan strategi menghadapi hegemoni negeri-negeri imperial terhadap perkembangan Ilmu-Ilmu sosial di Indonesia. Menurutnya, munculnya  hegemoni karena Eropa menyelenggarakan sistem kediktatoran politik di negeri-negeri jajahan dan pada umumnya secara sistematik menghalang-halangi perkembangan ilmu modern di negeri jajahan sehingga negeri seperti Indonesia sebagai negeri merdeka pada abad 20 tidak memiliki  infrastruktur pendidikan dan human resources yang memadai untuk memperbaikinya. “Strategi yang bisa diterapkan untuk mengatasi hegemoni yakni melalui Teaching, Research, Publication dan Internationalization” jelasnya.
Sementara itu Amika Wardana, MA dalam presentasinya memaparkan tinjauan umum tentang konstruksi Islam di Indonesia. Menurut pandangan umum, Islam seringkali disebut hanya sebagai ‘suatu lapisan tipis’(a thin veneer) dalam budaya orang Indonesia. Ada dua implikasi dari pandangan tentang kecilnya peran Islam ini yakni, pertama, Islam di Indonesia cenderung dipandang sebelah mata dikancah dunia Islam baik klasik maupun kontemporer yang lebih merujuk ke Arabia dan Timur tengah secara umum sebagai representasi utama. Kedua, warna tipis Islam di Indonesia yang bercampur dengan budaya agama-agama terdahulu dan kepercayaan/tradisi lokal dipandang sebagai bentuk Islam alternatif dengan beberapa atribut seperti ramah, toleran, dan terbuka terhadap nilai-nilai universal yang jarang didapati di negeri-negeri Muslim di Timur Tengah.
Amika menambahkan konstruksi Islam di Indonesia tidak lepas dari peran para orientalis khususnya dari Belanda yang berupaya melemahkan peran Islam dalam masyarakat Indonesia dan keberadaan narasi tentang para sufi yang non-politik dan damai menyebarkan Islam di negeri ini. Perhatian ditujukan khususnya pada konstruksi orientalis terhadap Islam di Indonesia  yang secara negatif identik dengan sinkretisme, ketidakmurnian, hibrid, terpengaruh oleh warna-warni tradisi kepercayaan lokal dan agama terdahulu dan secara positif sebagai bentuk ramah, toleran dan terbuka. “Salah satu hal penting dari konstruksi ala orientalis ini yakni Islam tidak hanya ditampilkan apa adanya namun diciptakan sedemikian rupa dengan tujuan-tujuan tertentu melalui relasi kuasa kolonial dibelakangnya” jelas dosen Jurusan Pendidikan Sejarah FIS UNY tersebut.
Lanjut Amika, Islam memiliki bentuk konstruksi yang berbeda pada masa orde baru. Rezim Orde baru merepresentasikan kelompok Islam “abangan” namun perubahan konstelasi sosial-politik pada 1990an memaksa rezim ini ke kelompok Islam santri. Kebijakan represif di masa awal rezim orde baru terhadap bentuk-bentuk Islam politik memaksa kelompok santri yang yang sebelumnya aktif di Masyumi meninggalkan arena politik dan bekerja di ranah dakwah melalui kelompok-kelompok kajian Islam di kampus-kampus. Sedangkan, tegasnya, kecenderungan konstruksi Islam mutakhir berkaitan dengan maraknya bentuk-bentuk Islam konservatif dan radikal di Indonesia. Konflik ethnis-agama di Maluku dan Sulawesi di akhir 1990 an, bom Bali 2002, munculnya sentimen-sentimen Islam konservatif anti-Barat dan berbagai aksi kekerasan dan intimidasi terhadap kelompok minoritas menunjukkan warna Islam di Indonesia yang lain, berbeda dengan warna Islam yang ramah, toleran, dan singkretis yang sebelumnya dominan. (Eko)