DOSEN FIS TELITI USAHA PERANTAU MINANGKABAU DALAM MEMBINA HUBUNGAN DENGAN KERABAT ASAL

Dosen Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum (PKnH)  Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta (FIS UNY) yang terdiri dari Puji Wulandari. K.SH. M.Kn, Setiati Widihastuti. SH.M.Hum, dan Iffah Nurhayati.SH. M.Hum lakukan penelitian tentang usaha perantau Minangkabau dalam membina hubungan dengan kerabat asal. Penelitian tersebut dilatarbelakangi oleh keunikan pada masyarakat Minangkabau dengan sistem kekerabatan Matrilineal, dimana kaum laki-laki banyak melakukan tradisi merantau keluar untuk mengadu nasib memperbaiki kehidupannya dari segi ekonomi maupun untuk mendapatkan ilmu. Hal tersebut juga menimbulkan konsekuensi berupa dominasi perempuan yang tidak dependen kepada suaminya. Dengan harta pusaka yang dikuasainya, kaum perempuan Minangkabau menjadi dominan dalam keluarga.  Sementara  para laki-laki hanya  mempunyai posisi yang lebih bermakna di lingkungan kerabat asalnya, karena sebagai mamak memiliki otoritas terhadap  kemenakannya.     Keunikan lain dari masyarakat Minangkabau adalah adanya tradisi merantau yang sudah tumbuh berpuluh tahun yang lalu. Lamanya waktu dan jauhnya tempat merantau bukan tidak mungkin memudarkan kedekatan,   ketaatan dan kesetiaan  laki-laki Minangkabau pada adat leluhurnya, kecuali apabila para perantau  Minangkabau  tersebut tetap intensif dalam membina hubungan dengan kerabat di kampung halamannya.

Puj Wulandari menjelasan bahwa penelitian dilakukan di lingkungan Keluarga Besar Minangkabau  Yogyakarta yang merupakan sebuah organisasi yang menghimpun dan beranggotakan orang-orang Minangkabau yang merantau dan menetap di Daerah Istimewa Yogyakarta.  Adapun key informan dalam penelitian ini adalah seorang pengurus Keluarga Besar Masyarakat Minangkabau Yogyakarta, yang mengetahui secara pasti tentang adat istiadat Minangkabau,  serta mempunyai pengetahuan yang memadai tentang anggota himpunannya, yang selanjutnya akan menginformasikan siapa laki-laki Minang yang berposisi sebagai mamak yang sudah cukup lama  merantau di Yogyakarta.

Penelitian ini, lanjut Puji wulandari, berhasil mengungkapkan bahwa merantau merupakan fase kehidupan yang selayaknya dilalui oleh masyarakat Minangkabau sebagai sarana membuktikan pendewasaan diri dan tanggung jawabnya. Laki-laki Minangkabau memiliki beberapa alasan untuk pergi merantau. Pertama, karena faktor ekonomi, yakni keadaan topografi daerah Sumatra Barat tidak memungkinkan bertambahnya lahan pertanian, berbanding terbalik dengan pertumbuhan penduduk yang terus bertambah.  Kondisi ini memperburuk perekonomian, membuat tanah-tanah pusaka menjadi mudah dijual atau digadaikan.  Sehingga merantau merupakan salah satu solusi untuk memperoleh sumber penghidupan dan merubah nasib. Kedua, merantau karena menuntut ilmu. Kualitas pendidikan di Jawa khususnya Yogyakarta secara umum lebih baik dari Sumatra Barat. Kondisi ini menggoda anak-anak muda Minang untuk datang ke Yogyakarta. Ketiga, faktor budaya, merantau merupakan upaya laki-laki Minangkabau untuk “lepas” dari tradisi  dan ikatan sistem matrilineal  yang kurang memberi  ruang untuk berkembangnya  otoritas laki-laki baik sebagai ayah maupun sebagai suami. Dominasi perempuan sebagai penguasa harta pusaka di lingkungan kerabat ibunya, memang menyisakan lemahnya posisi laki-laki. Dengan   merantau, mereka bisa terlepas dari ikatan sistem kekerabatan matrilineal dan membangun “kewibawaan” sebagai seorang suami dan ayah. Tradisi merantau tersebut  berdampak pada banyaknya orang Minangkabau yang akhirnya menetap di perantauan,  membina rumah tangga serta menempati rumah yang mereka miliki sendiri sehingga peranan laki-laki sebagai ayah dalam keluarga semakin menonjol dan mempererat hubungan antara suami terhadap istri dan anak-anaknya. Namun tidak berarti hubungan riil maupun hubungan imajiner dengan kampung halaman menjadi terputus.

“Berbagai usaha dilakukan para perantau untuk menjalin hubungan dengan kerabat luas matriliealnya. Dalam membina hubungan dengan kerabat asal dan kampung halaman, para perantau yang berstatus sebagai mamak tetap menjalankan sebagian fungsinya dengan menjalin komunikasi serta terlibat aktif apabila ada permasalahan yang menimpa kemenakan. Pemberian nasehat juga diberikan oleh para perantau, kala mereka yang di kampung halaman bermaksud menggadaikan atau mengalihkan harta pusaka. Selain itu mobilisasi dana untuk kesejahteraan keluarga dan masyarakat di kampung halaman juga selalu dilakukan para perantau. Dalam membina hubungan dengan sesama perantau, dilakukan dengan menciptakan jaring-jaring sosial yang sangat bermanfaat  bagi perantau yang baru datang untuk memahami dan menyesuaikan diri dengan budaya di daerah perantauan” pungkas dosen PKnH FIS tersebut. (Eko)