FIS SUKSES GELAR SEMINAR INTERNASIONAL ICSMC 2018

Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta (FIS UNY) selenggarakan International Conference on Social Studies, Moral, and Character Education (ICSMC-2018) dengan tema “Social Studies, Moral, and Character for Sustainable Development”. Seminar internasional ini dilaksanakan pada hari Sabtu-Minggu (1-2/9/2018) di Ruang Sidang Utama Rektorat UNY. Seminar dengan skala internasional tersebut dihadiri oleh peserta dari dalam dan luar negeri diantaranya berasal dari Malaysia, Mesir, dan India. Adapun narasumber seminar adalah Prof. Dr. Sutrisna Wibawa (Rektor UNY), Mark Heyward, Ph.D (Program Director - INOVASI for Indonesian School Children), Prof. Syed Farid Alatas (Associate Professor of Sociology at the National University of Singapore), Prof. Peter Carey (An Adjunct Professor at the University of Indonesia), Prof. Dr. S. Hamid Hasan (Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung), dan Prof. Dr. Ajat Sudrajat, M. Ag. (FIS UNY)

Rektor UNY, Prof. Dr. Sutrisna Wibawa, M.Pd dalam paparannya mengatakan bahwa sejak tahun 2000 banyak capaian dalam dunia pendidikan terutama pada pendidikan dasar misalnya penurunan anak putus sekolah yang mencapai 50 %, peningkatan melek aksara, peningkatan jumlah anak perempuan yang masuk sekolah. Selain itu, total anak yang masuk sekolah tahun 2015 di negara berkembang menjadi 91%. Peningkatan tersebut merupakan modal baik untuk mencapai tujuan yang ditetapkan dalam Sustainable Development Goals (SDGs) terutama poin keempat yang menekankan pada kualitas pendidikan.

Pada kesempatan yang sama Mark Heyward memaparkan tentang pengembangan karakter dan moral melalui metode Learning by doing.  Heyward menjelaskan bahwa siswa belajar melalui berbagai cara yakni dengan mengamati perilaku orang yang dijadikan role model misalnya dengan meniru perilaku guru, orang tua, para selebritis, dan saudara mereka. Selain itu, mereka juga belajar dari kisah cerita baik cerita dari novel, cerita tentang keluarga, cerita pada film, maupun cerita rakyat. Anak-anak juga belajar dari kesalahan yang pernah mereka lakukan, belajar dengan mempraktekkan dan belajar melalui diskusi dengan orang tua, guru dan teman. “Beberapa cara yang dapat dilakukan oleh guru untuk mengembangkan karakter siswa antara lain dengan mengajak diskusi mengenai hak dan kewajiban seorang siswa; mengajar siswa melalui berbagai perspektif (perspektif agama, sejarah, budaya) dan mengajarkan siswa dengan meberitahukan kepada mereka akan konsekuensi yang akan akan didapat atas tindakan yang telah dilakukannya.” imbuhnya

Sejalan dengan Heyward, Peter Carey mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara yang kaya baik kaya alamnya maupun kaya akan tokoh maupun pahlawan  nasional yang dapat dijadikan sebagai role model untuk pengembangan karakter seperti Pangeran Diponegoro, Ki Hajar Dewantara, dan tokoh lainnnya. Sementara itu, Syed Farid Alatas juga sependapat untuk mengangkat sumber-sumber lokalitas sebagai pengembangan keilmuan maupun pembelajaran sehingga tidak adanya ketergantungan akademik pada dunia barat.

Berkaitan dengan pendidikan karakter dan moral, Hamid Hasan menekankan tentang pentingnya respon kurikulum Ilmu Sosial terhadap tantangan pendidikan abad ke-21. Tantangan didefinisikan dalam empat kompetensi yang dianggap penting bagi generasi berikutnya untuk membuat hidup mereka lebih baik. Keempat kompetensi tesebut mencakup berpikir kritis, kreativitas, kolaborasi, dan komunikasi. “Untuk menjawab tantangan tersebut, Kurikulum 2013 bidang ilmu Sosial mengembangkan beberapa strategi yang mereorientasi filosofi kurikulum dari berbasis konten yang didominasi oleh esensialisme dan perenialisme ke rekonstruksi sosial” jelasnya

Berbagai metode dan upaya pengembangan moral yang dilakukan tersebut dilatarbelakangi oleh masalah moral bangsa yang mengalami fluktuasi. Menurut Ajat Sudrajat, fluktuasi yang mengiringi problem moralitas manusia boleh jadi mengikuti kurva kehidupan atau turun-naik seiring dengan seberapa jauh kekuatan atau daya yang dimiliki manusia dalam mengawal dan mengarahkannya. “Oleh karena itu tugas untuk mengawal moralitas manusia merupakan tugas besar-abadi yang tidak akan pernah berhenti dan berakhir” imbuh dekan FIS UNY tersebut. (Eko)