FIS UNY Berupaya Membentuk Kemandirian Ilmu Sosial

Pada 4-5 Oktober 2017 lalu, FIS UNY melaksanakan Seminar Internasional, 1st International Conference on Social Science and Education. Tema yang dipilih tahun ini Indigenization of Social Sciences: Facing Challenges of Academic Dependency sejalan dengan visi FIS. Pertemuan akademik ini mengundang 4 orang pembicara ahli: Prof Dr. Syed Farid Alatas (National University of Singapore), Prof. PM Laksono (Universitas Gadjah Mada), Dr Suharno (Universitas Negeri Yogyakarta) dan Dr Max Lane (Yusof Ishak Institute, Singapore). Selain itu pemakalah dari berbagai universitas juga menyajikan hasil penelitian mereka. 

Pembicara kunci Prof Dr. Syed Farid Alatas memaparkan makalah yang sangat menarik terkait dengan kemandirian ilmu sosial di dunia timur, Asia khususnya. Menurut beliau, selama ini para sarjana barat datang ke timur meneliti fenomena sosial di timur dengan kacamata mereka. Mereka memberi nama fenomena-fenomena yang sebenarnya berbeda dengan fenomena di barat dengan kerangka berpikir barat. Ia memberi contoh, konsep merantau di timur sebenarnya berbeda dengan konsep migrasi di barat. Namun karena sarjana barat memahami perpindahan manusia dengan konsep migrasi maka ia menamai fenomena merantau dengan migrasi. Celakanya, sarjana timur mengikuti konsep itu sehingga fenomena merantau kehilangan akar pengetahuannya. 
Ia menyarankan para sarjana timur untuk percaya diri menggali kenyataan di sekitarnya lalu memberi nama atas konsep-konsep itu. Syed Farid memberi contoh konsep Tjadong (jahat, bodoh dan sombong) adalah fenomena yang terjadi di timur untuk menjelaskan prilaku politisi Asia yang bertindak sebagai agamawan. Ia lalu menyatukan otoritas politik dan agama pada dirinya. Merasa memiliki otoritas itu, sang politisi bertindak semena-mena dan tidak mau dikritik. 
Pembicara ahli selanjutnya Prof. PM Laksono mengerucutkan pembahasan dalam kerangka keindonesiaan. Bagi beliau, Indonesia itu bukan impor tapi juga bukan asli namun hasil akulturasi dari kekayaan etnis nusantara dan asing. Maka sebenarnya menjadi Indonesia bukan berarti menolak ilmu dari barat tapi secara kreatif melahirkan ilmu diantara friksi barat dan etnis lokal. Laksono memberi contoh konsep sekolah milik Ki Hajar Dewantara. Tokoh pendidikan nasional ini menamai tempat pendidikan sebagai taman sebagai tempat semua tanaman berbeda dapat tumbuh bersama dan dibersamai oleh pamong. Pendidikan adalah tempat membangun taman Indonesia. Lebih lanjut, Laksono menyarankan semua ilmuwan sosial bersama ilmunya terlibat pada gerakan sosial agar dapat menyatukan pengetahuan dan kearifan. 
Ahli ilmu sosial keindonesiaan dari FIS, Dr Suharno, dalam pemaparannya mengambil kasus demokrasi ala Indonesia sebagai bentuk kreatif friksi barat dan timur. Demokrasi sebenarnya adalah konsep barat yang menjelaskan suatu sistem pemerintahan republik. Dalam kasus DIY, demokrasi kemudian dicapai dengan cara memasukan monarki di dalam republik. Ini adalah titik damai dari berbagai sengketa kekuasaan untuk memastikan partisipasi dan akuntabilitas lokal dalam hidup berbangsa dan bernegara. 
Selama tujuh tahun terakhir, FIS UNY bergumul dan bergerak menyerukan ilmu sosial yang berakar dari pengetahuan lokal. Visi fakultas hendak membentuk konsep-konsep dan teori-teori ilmu sosial yang mandiri bebas dari kuasa pihak lain sehingga bangsa Indonesia dapat menemukan dirinya sendiri.
Menemukan diri sendiri bukanlah perkara mudah. Melalui ilmu pengetahuan para ilmuwan sosial dapat memberikan sumbangan besar pada bangsa dengan cara meneliti fenomena-fenomena khas Indonesia lalu menjelaskannya dengan konsep yang tepat dan pada akhirnya dapat membentuk teori ilmu sosial keindonesiaan. Sehingga orang Indonesia dapat mengenali dirinya melalui ilmu pengetahuan yang ditemukan, tumbuh dan berkembang di Indonesia untuk dunia. (Dyna)