FISTRANS INSTITUTE KEMBALI MENGGELAR DISKUSI

“Indonesia sebagai negara multikultural menghadapi potensi konflik yang tinggi antar elemen pembentuk multikuturalismenya misalnya konflik di Kalimantan Barat antar berbagai etnis paling tidak telah terjadi 12 kali. Peristiwa konflik multikultur juga terjadi di Sampit Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah yang melibatkan warga Etnis Madura dan Dayak. Dampak konflik tersebut berupa ketakutan, trauma psikologis, dan ribuan warga kehilangan harta.” Demikian disampaikan Dr. Suharno, M.Si. dalam diskusi Forum Ilmu Sosial Transformatif Institute (FISTRANS Institute) Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta (FIS-UNY) belum lama ini. Diskusi yang digelar di Ruang Ki Hajar Dewantara FIS UNY tersebut mengangkat tema “Proses Modernisasi dan Konstruksi Identitas di Asia Tenggara” dan dihadiri Dekan, wakil dekan, dosen, mahasiswa di lingkungan FIS UNY serta komunitas FISTRANS di UNY dan sekitarnya.
Lanjut Suharno, konflik etnik sebagai konflik dengan karakter tertentu disebabkan oleh beberapa faktor yakni faktor sosial ekonomi yang dicerminkan dengan kondisi saling mengklaim dalam menguasai sumber daya yang terbatas dan kecemburuan sosial yang bersumber dari ketimpangan ekonomi antara kaum pendatang dengan penduduk asli, faktor sosial budaya yang dicerminkan dengan dorongan emosional kesukuan yang melahirkan kefanatikan dan sentimen antar pemeluk agama yang yang terjadi karena kurangnya pengetahuan dalam memahami suatu ajaran agama, faktor sosial politik yang dicerminkan dengan distribusi kekuasaan yang tidak merata, tidak tunduknya individu atau kelompok sebagai pihak yang dikuasai, dan ketegangan antara kelompok yang sedang berkuasa.
 “Untuk mencapai keberhasilan perdamaian secara substantive membutuhkan penyelesaian konflik yang benar-benar tuntas di level masyarakat dan sesuai dengan nalar penyelesaian konflik bagi masyarakat, bukan penyelesaian konflik pada level pemerintah yang sifatnya top down” imbuh dosen Jurusan PKnH FIS UNY yang tampil sebagai pembicara diskusi tersebut. Oleh karena itu, tegasnya, penyelesaian konflik yang baik dapat dicapai kalau konsensus telah selesai di level masyarakat dan kemudian dilegalformalkan dalam sebuah kebijakan publik sehingga konsensus atas perdamaian antar pihak yang berkonflik tersebut memiliki kekuatan memaksa dan mengikat bagi masing-masing pihak untuk melaksanakannya.
Sementara itu, pembicara lain Dr. Charley Sullivan banyak menyoroti tentang proses modernisasi dan konstruksi identitas di Asia Tenggara. Melalui acara yang digelar rutin tersebut Dekan FIS UNY, Prof. Dr. Ajat Sudrajat, M.Ag. berharap bisa menumbuhkan budaya keilmuan di lingkungan kampus khususnya FIS UNY.(Eko)