GREBEG SUDIRO SEBAGAI WUJUD HARMONISASI ETNIS TIONGHOA DAN ETNIS JAWA

Budaya lokal tidak akan hilang jika terus dilestarikan. Grebeg Sudiro merupakan salah satu budaya lokal Jawa yang telah berakulturasi dengan budaya asing yakni Tionghoa, namun tidak menghilangkan ciri kas budaya Jawa itu sendiri.  Grebeg Sudiro dapat menjadi contoh bagi masyarakat nusantara untuk terus mempertahankan budaya lokal sekalipun banyak sekali kebudayaan asing yang bukan tidak mungkin dapat menggerus dan menghilangkan kebudayaan lokal. Untuk mengungkap latarbelakang, proses, dampak, dan pesan dalam perayaan Grebeg Sudiro di Desa Sudiroprajan Surakarta, mahasiwa Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta (FIS UNY) yang terdiri dari Ammar Muhammad, Hidayatul Choiriyah, dan Rani Septiani melakukan penelitian tentang “Grebeg Sudiro Sebagai Wujud Harmonisasi Etnis Tionghoa dan Etnis Jawa di Sudiroprajan, Surakarta”.

Amar menjelaskan bahwa Grebeg Sudiro merupakan tradisi perayaan untuk menyambut datangnya tahun baru Cina atau Imlek di Kota Surakarta, Jawa Tengah. Tradisi ini terbentuk karena adanya pembauran budaya dari ernis Jawa dan Tionghoa di Kelurahan Sudiroprajan, Kota Surakarta. Pembauran budaya pada Grebeg Sudiro menjadikan gelaran kesenian ini menjadi diterima oleh masyarakat luas selain karena keunikannya. Hal ini disebabkan oleh adanya kerukunan dan rasa saling menghargai antar etnis Jawa dan Tionghoa di Kelurahan Sudiroprajan.

“Tradisi Grebeg Sudiro dimulai pada tahun 2007, awal pelaksanaan Grebeg Sudiro didukung oleh banyak pihak, seperti Oei Bengki, Sarjono Lelono Putro, dan Kamajaya selaku pendiri dan penggagas utama dalam Grebeg Sudiro yang kemudian mendapat persetujuan dari Kepala Kelurahan Sudiroprajan beserta jajaran aparatnya, para budayawan dan tokoh masyarakat serta LSM. Dengan demikian perayaan Grebeg Sudiro sebagai ikon kota Surakarta ini dapat berjalan dengan lancar” jelas Amar

Hidayatul Choiriyah menambahkan, Grebeg ini sangat pantas mendapatkan apresiasi karena melalui Grebeg Sudiro masyarakat Surakarta dapat merasakan rasa kesatuan yang diwujudkan dalam sebuah acara bersama. Grebeg Sudiro membawa misi khusus bagi masyarakat Surakarta yaitu untuk menyampaikan pesan-pesan yang dikomunikasikan melalui simbol-simbol yang ada dalam gelaran budaya Grebeg Sudiro.

“Pada perayaan Karnaval Grebeg Sudiro terdapat perebutan dua buah gunungan, yakni Gunungan Jaler yang berarti laki-laki dan Gunungan Estri yang berarti perempuan. Keduanya sangat kental bernuansa Jawa.  Sedangkan yang mereka kirab adalah gunungan kue keranjang. Hal inilah yang menunjukan simbol antara budaya Jawa dengan budaya Tionghoa” imbuhnya

Semenrata itu, Rani Septiani menjelaskan bahwa pelaksanaan Grebeg Sudiro ini berhasil menyampaikan pesan keharmonisasian antar kedua etnis. Kegiatan tersebut menunjukkan bahwa mereka tidak hanya penduduk baik lokal dan pendatang saja, namun menyatu dan membentuk suatu kebudayaan. Keberagaman yang sebelumnya ada, kemudian bersatu membentuk suatu keharmonisasian. Harmoni dalam  kebhinekaan, itulah yang diangkat dalam kegiatan Grebeg Sudiro agar  memberikan pesan untuk saling menghormati.

“Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat serta masyarakat Sudritoprajan, pelaksanaan Grebeg Sudiro tidak hanya menyampaikan tentang keharmonisasian antar kedua etnis saja Tionghoa dan Jawa tetapi juga kebhinekaan dalam kesatuan antar etnis, suku, dan budaya yang beragam di Indonesia ini. Sehingga nilai-nilai keindonesiaan dalam pelaksaan Grebeg Sudiro ini dapat kita lihat dengan jelas karena tersimbol dari unsur-unsur yang ditampilkan”tutupnya. (Eko)