HATE SPEECH PICU KEKERASAN DI KALANGAN PELAJAR SMA

Penebar kebencian atau yang dikenal dengan istilah hate speech memang sudah terjadi dimana-mana, tak terkecuali di Kota Yogyakata. Hate speech tersebut dilakukan oleh oknum, bahkan kasus-kasus kekerasan yang terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ditengarai karena hate speech yang dilakukan oleh segelintir orang. Hate speech tersebut sudah menjadi cara ampuh oleh sebagian kelompok untuk memecah belah bahkan untuk membuat kekacauan termasuk pelajar SMA yang melakukan kekerasan antarsekolah yang sering terjadi di Kota Yogyakarta. Topik ini dikaji oleh mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) yang terdiri dari Ana Nurbaedah (mahasiswa Prodi PKnH), Apinda Wardani (mahasiswa Prodi PKnH), Rizka Sari (mahasiswa Prodi Akuntansi), Rianda Usmi (mahasiswa Prodi PKnH), Muhammad Ilyas (mahasiswa Prodi Pendidikan IPS) sebagai bagian dari Program Kreativitas Mahasiswa (PKM).

Ana menuturkan bahwa berdasarkan data Polda DIY tahun 2013, 76 geng sekolah yang tersebar secara aktif melakukan aksi kekerasan. Aksi yang sering dilakukan adalah klitih dan tawuran antar pelajar. Kebanyakan dari para pelaku klitih adalah anggota dari geng yang berusaha mencari jati diri dan pengakuan dari kelompoknya. Mereka melakukan aksi tersebut di jam-jam malam menjelang pagi di berbagai tempat di Kota Yogyakarta.

Lanjut Ana, setelah dilakukan riset secara mendalam, para pelajar melakukan aksi tersebut karena mereka berada di bawah pengaruh narkoba, sehingga keadaan emosionalnya kurang terkontrol. Faktor psikologi atau individu yang tertekan akan senantiasa melakukan aksi kekerasan sebagai aksi pelampiasan. Hate speech membuat mereka mudah tersulut emosi. Hate speech tersebut dilakukan dengan berbagai motif, baik untuk kepentingan kelompoknya, atau hanya untuk kepentingan diri sendiri, misalnya kasus tawuran antar pelajar yang ada di Kota Yogyakarta. Kasus tersebut tidak spontan ada, tetapi ada segelintir orang yang menebarkan kebencian agar sekolah satu dengan sekolah yang lain saling bermusuhan. Akibat saling curiga dan saling menuduh antara satu sekolah dengan lain maka yang terjadi adalah tawuran dan beberapa kasus kekerasan lainnya.

“Hate speech yang terjadi di pelajar SMA dapat disebarkan melalui komunitas yang diikuti. Mereka memprovokasi temannya untuk membenci salah satu golongan yang berbeda dari mereka, mulai dari membenci orang yang berlainan agama, suku, asal daerah, kelompok, geng, sekolah lain, dan lain-lain. Aksi membenci kelompok lain tersebut dianggap suatu yang baru dan sesuatu yang memberikan pandangan baru sehingga mereka menikmati arus tersebut.” papar mahasiswa PKnH FIS UNY

Solusi yang ditawarkan tim PKM UNY tersebut meliputi lima komponen yaitu preemtif, preventif, represif, persuasif, dan kuratif. Bagi Polres Kota Yogyakarta sebagai institusi pemerintah dapat menciptakan kondisi Kota Yogyakarta yang aman dan tentram (preemtif) dengan melakukan patroli keliling secara aktif dalam 24 jam (preventif), mendirikan pos-pos polisi pada daerah rawan kekerasan, menindak pelaku kekerasan dan di proses secara hukum (represif), mengajak pada masyarakat (pelajar) untuk tidak melakukan tindakan kekerasan baik di sekolah, rumah, dan lingkungan tempat tinggal (persuasif), memberi bimbingan pada pelaku agar tidak melakukan tindakan yang sama, dan melakukan pengawasan pada pelaku setelah bebas (kuratif). Bagi orangtua, sekolah dan lingkungan sosial dapat menanamkan nilai karakter, dan melakukan bimbingan kerohanian yang sesuai dengan nilai kebangsaan (preemtif), melakukan pengawasan secara intens, menciptakan suasana damai, hangat, dan nyaman baik di lingkungan keluarga, sekolah dan lingkungan (preventif), memberikan hukuman yang mendidik, serta menyerahkan pada polisi (represif), mengajak anak dan lingkungan sosial agar memegang teguh nilai  kebangsaan, menjaga ketertiban di keluarga dan masyarakat (persuasif), menerima serta membimbing pelaku setelah bebas dari masa hukuman, dan memberi lapangan pekerjaan (kuratif). (Eko)