Kearifan Lokal Badui Dalam dan Masyarakat Samin

Indonesia kaya akan pengetahuan lokal yang belum banyak tergali. Berkaca dari itu tahun ini FISE UNY melakukan gebrakan dengan mengadakan seminar hasil Kuliah Kerja Lapangan (KKL) yang dilakukan prodi-prodi pendidikan sebagai salah satu muara untuk menghasilkan karya yang menonjolkan budaya lokal yang selama ini belum tergali secara maksimal. Seminar KKL untuk periode pertama mendiskusikan tema  “Manusia dan Alam di Badui Dalam dan Kearifan Lokal Masyarakat Samin”, yang dilaksanakan Rabu lalu di Ruang Ki Hajar Dewantara FISE UNY. Acara dengan pembicara  Gunardo, M.Si dan Grendi Hendrastomo, MA dibuka oleh Pembantu Dekan 1 FISE, Suhadi Purwantara,MSi.


Menurut Gredi, Kebudayaan lokal ternyata menyimpan banyak sistem pengetahuan yang hingga saat ini menjadi penopang kekayaan budaya Indonesia. Suku badui dalam membuktikan bahwa manusia dan alam tidak bisa terpisah. Perlu untuk tetap menghargai alam, yang mereka ekspresikan dengan menolak teknologi masuk ke dalam komunitas mereka. Tidak ada jam, alat komunikasi atau peralatan elektronik yang mereka gunakan. Kehidupan sehari-hari mereka ekspresikan melalui kegiatan dan kehidupan yang dekat dengan alam.  Rumah suku Badui Dalam mengekspersikan kedekatan mereka dengan alam, semua bagian rumah terbuat dari kayu tanpa ada paku sebagai penguat. Sehari-hari aktivitas yang dilakukan adalah bertani dengan hasil pertaniannya dikumpulkan dalam lumbung padi. Itu sebabnya ronda dilakukan pada siang hari karena pada waktu siang semua penghuni pergi ke lading. Mata air sangat jernih dan pohon-pohon di dekat mata air tidak boleh ditebang demi untuk menjaga kelangsungan mata air.  

Lanjutnya, apa yang dilakukan suku badui dalam ternyata juga muncul di masyarakat samin. Berbeda dengan suku badui yang kental dengan harmoni manusia dan alam, masyarakat samin kental dengan kearifan lokal yang diturunkan melalui ajaran Samin Surosentiko. Ajaran ini mengajarkan kesederhanaan hidup, dan kejujuran. Wong samin lebih senang dipanggil wong sikep karena sikep menjadii perlambang tanggung jawab. Wong sikep terkesan lugu karena apa yang mereka perlihatkan diluar merupakan diri mereka yang sebenarnya. Bagi wong sikep yang penting dalam hidup ini adalah tabiatnya. Manusia hidup yang penting  bukan “lahirnya” bukan “kata-kata muluk”, tetapi “isi hati” dan “perbuatan nyata”. Wong sikep hidup bersisian dengan modernisasi tetapi tidak meninggalkan ajaran luhur dari nenek moyang mereka. Harmonisasi alam dan manusia ditambah dengan kearifan yang terkandung dalam sistem pengetahuan lokal inilah yang didorong untuk menjadi kekayaan budaya bangsa ini sekaligus menjadii solusi bagi permasalahan bangsa saat ini. Hal-hal yang tergali dari diadakannya KKL inilah yang akan mendorong peran perguruan tinggi, khususnya FISE UNY untuk menyebarluaskan, mendiskusikannya dalam tataran akademik dan mensinergikan dalam kehidupan masyarakat modern.


Sementara PD1, dalam sambutannya mengatakan selama ini hampir sebagian besar acuan pengetahuan lokal yang tersimpan di suku-suku pedalaman justru di gali oleh orang-orang asing, itu sebabnya kenapa tidak kita memulai dari fakultas ini yang setiap tahun pasti mengadakan KKL untuk menuliskan apa yang telah didapat selama observasi dan meneliti budaya lokal kita. Embrio yang dimiliki oleh tiap-tiap prodi inilah yang nantinya akan menghasilkan karya ilmiah yang mampu dijadikan acuan secara akademik, lanjutnya.(grendi/ls)