KESIAPAN PEMAHAMAN TENTANG MANAJEMEN BENCANA SISWA SMP DI SLEMAN, DITELITI DOSEN P. IPS FIS UNY

Sudah siapkah siswa SMP di Sleman yang tinggal di kawasan rawan bencana untuk siaga bencana? Pertanyaan ini dijawab melalui penelitian oleh Tim Peneliti dari Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta (FIS UNY), Drs. Agus Sudarsono, M.Pd., dengan judul “Pemahaman Menejemen Bencana Siswa SMP di Kabupaten Sleman”. Penelitian ini dilakukan di SMPN 1 Cangkringan Kabupaten Sleman, yang secara geografis terletak tidak jauh dari gunung berapi merapi dan bisa dikatakan masuk di zona rawan bencana. “Penelitian yang dilakukan pada Oktober 2016 ini dilakukan dengan tujuan untuk, mengetahui pemahaman siswa SMP di Kabupaten Sleman akan manajemen bencana dan pengetahuan mengenai bencana gempa bumi.” ujar Agus.
Seperti yang kita tahu Indonesia terletak di zona patahan lempeng besar dunia. Pergerakan lempeng-lempeng tersebut menjadikan Indonesia menjadi salah satu wilayah yang rawan terjadi gempa bumi, karena letak Indonesia yang berada di zona patahan tersebut. Terdapat banyaknya pegunungan aktif yang berada di Indonesia ditandai dengan banyaknya gunung berapi aktif yang sewaktu-waktu bisa memuntahkan lava pijarnya, menjadi indikator penguat bahwa wilayah Indonesia berada pada jalur pertemuan lempeng-lempeng tektonik. Kendati demikian apakah masyarakat sudah siap tinggal di wilayah zona rawan bencana, apakah masyarkat sudah dibekali pengetahuan siaga bencana?
Salah satu gunung berapi yang cukup aktif di Indonesia adalah Gunung Merapi, yang berada di wilayah perbatasan antara Yogyakarta dan Jawa Tengah. Pada 27 Mei 2006, di DIY terjadi gempa bumi yang meluluhlantahkan wilayah tersebut dan menimbulkan banyak korban jiwa, korban luka dan bangunan hancur bahkan rata dengan tanah. Selang beberapa tahun kemudian tepatnya pada tahun 2010, Gunung Merapi yang berada di wilayah perbatasan DIY dan Jawa Tengah memuntahkan lava pijarnya, erupsi merapi.
Berada di zona rawan bencana ini dibutuhkan strategi penanggulangan bencana yang efektif termasuk pemahaman masyarakat sekitar akan bencana yang dapat terjadi sewaktu-waktu. Pendidikan mengenai menejemen bencana dirasa perlu dilakukan pula disekolah. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan diadakannya sekolah siaga bencana (SSB). Namun, menjalankan SSB saja tidak akan maksimal jika tidak dilengkapi dengan fasilitas yang memadai dan materi yang memadai pula, sehingga siswa benar-benar paham mengenai siaga bencana. Pemahaman menejemen bencana ini tidak berhenti pada antisipasi evakuasi bencana saja tetapi juga penanganan pasaca bencana.
Agus menyampaikan, “Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada umumnya siswa mempunyai pemahaman yang memadai tentang bencana, khususnya bencana alam gunung meletus, namun sebagian besar kurang mengetahui bencana alam tsunami dan gempa bumi tektonik.” tambah dosen geografi budaya ini. Hasil tersebut diperkuat dengan data prosentase pemahaman bencana gunung meletus sebesar 89%, gempa bumi 52% dan tsunami 59%. Siswa juga menyadari jika SSB mempunyai peranan yang signifikan dalam mengurangi dampak resiko bencana (89%) dan mempunyai apresiasi positif sekolah yang menjadi sekolah siaga bencana yang memiliki beberapa fasilitas penunjang seperti petunjuk evakuasi, alat peringatan dini, ruang perawatan korban, dan panduan kebencanaan, namun fasiliats tersebut masih dirasa kurang memadai oleh siswa (47%). Fasilitas yang dirasa kurang memadai tersebut bisa disebabkan oleh katidakseimbangan antara alat peraga atau fasilitas lainnya dengan jumlah siswa. (Vixki/sari)