LANGGAR WANITA DAN PRESPEKTIF GENDER MASYARAKAT KAUMAN YOGYAKARTA

Mahasiswa Jurusan Pendidikan IPS Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta (FIS UNY) yang terdiri dari Dwi Nur Rahayu, Deni Eviana, Soraya Yuli, Tectona Hangger dan Tri Winarti melakukan penelitian tentang Langgar Wanita dan Prespektif Gender Masyarakat Kauman Yogyakarta. Penelitian yang dilakukan pada bulan Maret-Juli 2013 tersebut merupakan Program Kreativitas Mahasiswa (PKM DIKTI).  
Dwi Nur Rahayu menjelaskan bahwa penelitian dilakukan di langgar wanita yang bernama Mushola Aisyiah. Mushola yang terletak di Kompleks Kauman Yogyakarta tersebut merupakan salah satu bagian dari situs KH Ahmad Dahlan yang didirikan pada pertengahan tahun1922. Pendirian mushola tersebut dilatarbelakangi oleh keprihatinan KH Ahmad Dahlan  terhadap sempitnya ruang gerak wanita untuk berorganisasi dan bersosialisasi.
Menurut Deni Eviana langgar wanita sangat unik untuk diteliti karena masjid ini dikelola oleh takmir yang beranggotakan wanita, jamaahnya, imam, penceramah dan yang melakukan iqomah juga wanita. Sedangkan laki-laki tidak diperbolehkan untuk memasuki mushola. Kondisi tersebut sangat berbeda dengan realita masyarakat pada umumnya, selama ini wanita berada dalam posisi subordinat, menjadi nomer dua dalam masyarakat. Peran laki-laki dalam masyarakat dianggap lebih meyakinkan dan mendoninasi dibandingkan dengan peran wanita. Sehingga menimbulkan pertanyaan, dengan adanya langgar tersebut, bagaimana prespektif gender masyarakat kauman? apakah membatasi ruang gerak wanita atau telah mensejajarkan derajat wanita dengan laki-laki.
Dalam penelitian yang berlangsung lima bulan tersebut mengungkapkan bahwa masyarakat baik laki-laki maupun wanita mempunyai pandangan yang menyamaratakan derajat antara kaum laki-laki dan perempuan, kecuali hak atau kewajiban yang bersifat qodrati. Pengurus dan jamaah langgar Aisyiah sebagian besar merupakan aktifis organisasi dibidang agama maupun sosial. Kaum laki-laki memberikan kepercayaan yang sama kepada wanita dalam kehidupan, ekonomi, politik sosial dan budaya. Hal tersebut terbukti dari sebagian besar wanita telah mengenyam pendidikan di tingkat SMU dan perguruan tinggi, beberapa wanita memiliki karir dan jabatan. Selain itu di bidang politik, wanita juga diberi kesempatan untuk mencalonkan atau dicalonkan sebagai ketua RW serta di ikut sertakan dalam kegiatan musyawarah desa.Sedangkan untuk kegiatan sosial yang dipercayakan kepada para wanita adalah kegiatan rutin pemerikasaan kesehatan warga kauman, ,sehingga tidak sedikit masyarakat wanita yang menjadi tokoh masyarakat di kampung kauman.  Kegiatan wanita tersebut juga mendapatkan dukungan penuh dari keuarga terutama suami.
 “Prespektif dan pemahaman gender masyarakat kauman merupakan konstruksi sosial yang berlangsung berdasarkan lingkungan sosial dan kulturnya, yang berlangsung secara turun temurun. Jadi dapat diartikan sejak berdirinya masjid tersebut, ruang gerak dan hak wanita untuk berorganisasi telah diberikan, wanita menjadi aktifis atau berkarir merupakan hal yang sangat dihormati dan hal tersebut berlangsung sampai sekarang” papar Dwi.
Soraya menambahkan bahwa adanya masjid wanita dan kegiatan-kegiatan wanita bukan merupakan bentuk feminisme, namun sebagai kebutuhan aktualisasi diri yang perlu disalurkan. (dwi/eko)