Local Genius di Tanah Pasundan

Menuruni 400 an tangga dengan pemandangan sawah bertingkat, diselingi gemericik air disepanjang tangga menjadi jalan panjang menyusuri indahnya bumi naga, di kampung naga tasikmalaya. Nun dikejauhan tampak perkampungan yang dikelilingi perbukitan dikanan kirinya dengan sungai berada disampingnya. Banyaknya tangga yang harus dititih tak berasa sesampai di perkampungan naga dimana hampir semua rumah memiliki struktur bangunan yang sama, menggunakan kayu dengan atap sirap dengan warna yang sama, putih kecoklat-coklatan.

Siang itu (27/01) kami mahasiswa pendidikan sosiologi angkatan 2008 didampingi dosen mengunjungi bumi Pasundan dalam rangka Kuliah Kerja Lapangan 3. Kunjungan tiga hari dimulai dari Ponpes Suralaya, Kampung Naga, Kampung Pulo, PSK Cipanas Garut, Kampung Cirendeui, hingga Angklung Mang Udjo. KKL ini memang sengaja dipusatkan di Bumi Pasundan dalam rangka belajar tentang Penyimpangan sosial dan Lokalitas Budaya untuk mengenalkan dan menerapkan ilmu yang telah di dapat di bangku kuliah dalam menganalisis realita yang ada di masyarakat.

Kampung naga merupakan salah satu komunitas masyarakat asli yang hingga saat ini masih menjaga tradisi dan budayanya. Keunikan budaya itulah yang menarik banyak orang untuk belajar dari orang naga. Tidak ada listrik di kampung naga, walaupun daerah sekitar listrik sudah ada. Kata mereka listrik hanya akan memunculkan pelapisan sosial di masyarakat, adanya listrik akan membuat orang berlomba-lomba untuk mencari hedonitas. Kesamaan tanpa memandang tingkatan itulah yang menjadi salah satu pelajaran berharga orang naga, bangunannya pun sama, walaupun saat ini hanya 10% orang naga yang tinggal di kampung naga, tetapi mereka tetap menjaga keaslian dan kearifan budaya local agar tidak tergerus kemajuan jaman.

Pelajaran tentang kearifan local tidak hanya berhenti di kampung naga. Di kampung Cirendeui pun ditemukan kearifan lokal. Kampung ini terkenal dengan ketahanan pangannya dimana hampir sebagian besar orang kampung Cirendeui tidak makan beras hingga kini. Topografi daerah yang berbukit, menyebabkan mereka lebih kenal dengan ubi-ubian. Tidak heran pengunjung selalu dihidangkan dengan aneka penganan berbahan ubi yang telah diolah hingga berwujud seperti makanan yang bukan ubi dengan rasa yang luar biasa enaknya. Ditengah mahalnya harga beras dan keterpurukan pemerintah untuk menyediakan beras murah, ternyata kampung ini telah memulai dengan ketahanan pangannya, agaknya bangsa kita perlu belajar untuk lebih menghargai hasil bumi tanah air tercinta yang kaya akan sumber pangan yang bisa dimanfaatkan dan menjadi penganan pokok. (Grendi)