MAHASISWA FIS TELITI SISTEM ADAT RUMAH DINDING KAYU

Sistem adat pada zaman dahulu memang sangat erat kaitannya dengan desa. Sistem adat atau kebiasaan dalam masyarakat desa tidak hanya dikaitkan dengan tradisi atau mitos, melainkan hal tersebut digunakan sebagai identitas dari daerah tertentu misalnya sistem adat pada masyarakat Dusun Beteng, Desa Margoagung, Seyegan Sleman, DIY. Adat yang berkembang di masyarakat tersebut yaitu larangan membangun rumah menggunakan dinding tebok yang permanen. Adat yang menjadi ciri khas dusun Benteng tersebut menarik perhatian Tim Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta (FIS UNY) yang terdiri dari Ninda Sintya Dewi (Jurusan Pendidikan Sosiologi), Agustin Tri Wulandari, (Jurusan Pendidikan Sejarah), dan Muhamad Khabib Cahyo Nugroho (Jurusan Pendidikan Sosiologi) untuk melakukan penelitian tentang “Eksistensi Sistem Adat Rumah Dinding Kayu di Dusun Beteng, Desa Margoagung, Sleman”

Menurut ketua Tim PKM, Ninda Sintya Dewi, sistem adat rumah dinding kayu di Dusun Beteng telah berlangsung sangat lama. Berdasarkan wawancara dengan informan, pantangan untuk membangun rumah berdinding tembok di Dusun Beteng berkaitan dengan kisah perjuangan Pangeran Diponegoro dalam perjuangannya untuk mengusir pemerintah kolonial Belanda, sekitar pada tahun 1925- 1930. Pada masa itu,  Dusun Beteng merupakan sebuah Beteng pertahanan yang digunakan untuk berlindung dari serangan musuh. Namun, menurut kepercayaan orang Jawa, beteng tersebut bersifat goib yang tidak terlihat sehingga sampai sekarang ini tidak ada bekas atau sisa dari beteng tersebut. “Dengan adanya beteng tersebut, masyarakat sekitar percaya bahwa meskipun bangunan rumah di Dusun Beteng hanya terbuat dari kayu, mereka sudah aman dari hal apapun, seperti pencuri, penyakit,bencana alam, dan lain sebagainya sehingga di dusun tersebut tidak ada orang yang membangun rumahnya dengan dinding tembok yang permanen” paparnya

Agustin Tri Wulandari manambahkan, masyarakat mempercayai bahwa mereka akan mendapatkan marabahaya apabila melanggar adat misalnya sakit keras, perceraian, bahkan gangguan jiwa. Inilah yang membuat masyarakat sekitar takut untuk melanggar adat, sehingga masyarakat mendirikan rumah hanya dengan kayu meskipun sebagian dari masyarakatnya ada yang mampu untuk membangun rumah dengan tembok permanen. Tidak hanya rumah, bahkan mushola pun dibuat juga menggunakan kayu untuk mematuhi adat tersebut.

“Keberadaan adat ini cukup lama, yaitu sampai sekitar tahun 1980. Setelah itu, ada yang berani menentang adat dan kemudian bangunan pertama yang di bangun menggunakan tembok permanen adalah mushola, dan juga makam. Dengan adanya keberadaan bangunan tersebut, lama kelamaan masyarakat berani membangun rumah dnegan dinding permanen” ujar Mahasiswa Pendidikan Sejarah FIS UNY

Anggota tim PKM, Muhamad Khabib Cahyo Nugroho, memaparkan bahwa saat ini hanya sebagian kecil masyarakat yang masih mempertahankan sistem adat rumah dinding kayu. Hal ini disebabkan oleh modernisasi, karena memang sifat masyarakat yang selalu berubah atau dinamis, sehingga perubahan kearah modern ini sulit untuk dihindari. Selain itu, lunturnya adat rumah dinding kayu di Dusun Beteng ini juga disebabkan oleh regenerasi warga masyarakat. Masyara tua Pemerintah Desa Margoagung juga ikut andil dalam perkembangan sistem adat rumah dinding kayu. Dinas Pekerjaan Umum memiliki program bangunan RTLH (Rumah Tidak Layak Huni) yang diberikan secara bertahap. Program ini dilandasi oleh kebutuhan primer manusia yaitu sandang, pangan, dan papan. Pemerintah ingin  membangun hunian yang layak bagi masyarakat Dusun Beteng.

“Respon yang diberikan warga Dusun Beteng terhadap perbaikan tempat tinggal  oleh pemerintah sangat positif. Hal tersebut membuat adat rumah dinding kayu tidak eksis lagi karena respon masyarakat yang positif terhadap perubahan. Hal ini membuat tidak adanya upaya yang dilakukan masyarakat dan juga pemerintah untuk mempertahankan adat tersebut padahal apabila dilakukan pemberdayaan masyarakat, dusun ini berpotensi untuk dikembangkan menjadi desa wisata yang bernuansa kearifan lokal” ungkapnya. (Eko)