Membaca Indonesia dalam Diskusi Serial Kewarganegaraan

Setelah sukses menyelenggarakan Diskusi Serial Kewarganegaraan #1 hingga #7, Laboratorium Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum FIS UNY (Lab. PKn H FIS UNY) bersama Lingkar Kajian Demokrasi dan HAM FIS UNY (LinK De HAM FIS UNY) mengadakan lagi Diskusi Serial Kewarganegaraan#8 (Diser#8). Mengetengahkan tema “Membaca Indonesia dalam Perspektif Politik, Hukum dan Pendidikan: Retrospek 2016 dan Prospek 2017”, Diser#8 mengakhiri kajian menyoal keindonesiaan selama tahun 2016 sekaligus mengawali kajian-kajian yang akan dilaksanakan di tahun 2017. Dibersamai Prof. Buchory, M.S (Rektor UPY), Hasrul Hanif, M.A (Dosen Dept. Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM), serta Setiati Widihastuti, M. Hum (Dosen Ilmu Hukum FIS UNY) selaku pembicara, Diser#8 berlangsung semarak dan kondusif dalam suasana akademis yang dialogis. Para peserta Diser#8 baik dari Dosen-Dosen FIS UNY maupun mahasiswa S1 dan S2 dari berbagai Universitas di DI Yogyakarta nampak mengikuti acara dengan antusias dan penuh perhatian.
Diser#8 yang diadakan pada hari Jumat, 27 Januari 2017 Pukul 13.00 WIB di Ruang Lafran Pane FIS UNY Lt. 2 diawali oleh sambutan dari Selertaris Jurusan PKnH FIS UNY, Ibu Iffah Nurhayati, M. Hum. Ia menyampaiakan bahwa memang tahun 2016 yang telah berlalu banyak mengguratkan persoalan baik di bidang Politik, Hukum maupun Pendidikan sehingga kegiatan diskusi semacam Diser#8 ini sangat baik dan penting keberlangsungannya agar satu persatu persoalan dapat dicarikan solusinya untuk diterapkan di tahuh 2017.
Prof. Buchory, M.S yang menjadi pembicara pertama yang menyampaikan mengenai tantangan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) atau “Asean Economics Community” (AEC). Kenyataan bahwa MEA telah dimulai pada 2015 menjadi persoalan pokok yang diketengahkan oleh Alumni IKIP Yogyakarta yang sehari-harinya menjadi Rektor Universitas PGRI Yogyakarta saat ini. Menurutnya, hal yang patut dikhawatirkan adalah bahwa Indonesia menjadi “pangsa pasar” yang paling bagus bagi negara-negara Asean. Namun, setelah satu tahun diberlakukan nampaknya belum begitu terasa persiapan Indonesia untuk mengahadapi MEA. Padahal ketika Indonesia mengikuti MEA maka Indonesia sudah berjanji harus bebas barang, jasa, transportasi dan tenaga terampil. Berkneaan dengan itu, Prof Buchory meragukan “apakah pendidikan kita sudah mampu dan apakah tenaga kerja kita sudah siap untuk memasuki pasar bebas di sekitar 10 negara tadi?”. Prof Buchory menjelaskan bahwa hal tersebut seharusnya mempengaruhi pendidikan kita saat ini. Jadi pengembangan SDM seharusnya menjadi penekanan. Sebab MEA juga punya sisi positif bagi Indonesia yakni potensi bagi tenaga kerja Indonesia. Menurutnya yang diperlukan oleh calon tenaga kerja di Indonesia memang adalah kompetensi yang mampu bersaing dengan tenaga kerja dari negara-negara Asean. Selain itu, keberadaan MEA juga dapat mendukung adanya wajib belajar 12 tahun, tegas Prof. Buchory. Adanya fokus pengelolaan jenjang pendidikan di Indonesia saat ini yakni Pemerintah Pusat fokus ke pendidikan tinggi, Pemerintah Provinsi fokus ke pendidikan menegah, dan Pemerintah Kabupaten/Kota fokus ke pendidikan dasar diharapkan bisa mewujudkan pendidikan Indonesia lebih baik untuk kedepannya. 
Setiati Widihastuti, M. Hum selaku Dosen Ilmu Hukum FIS UNY menyampaikan bahwa tahun 2016 telah meninggalkan berbagai macam catatan. Kondisi hukum di Indonesia lebih banyak menjadi sorotan publik, lebih banyak menuai kritik dari pada pujian, tegas Setiati. Kemudian, Ia menjelaskan bahwa di tahun 2016 banyak kasus korupsi yang melibatkan sederet aparat penegak hukum sehingga merupakan potret hitam bagi dunia hukum di Indonesia. Adapula indikasi pelemahan komitmen terhadap agenda pemberantasan korupsi. Itu nampak pada semakin rendahnya rata-rata vonis penjara bagi koruptor. Rendahnya hukuman bagi koruptor tak cuma berhenti dalam proses peradilan. Dalam proses pemidanaan pun, terpidana korupsi mendapatkan keringanan melalui remisi, ungkap Setiati. “Secara umum bahwa terdapat banyak persoalan hukum di negara kita ini, dan yang paling krusial karena mampu menghambat semua sektor adalah  korupsi dan kolusi dalam pelaksanaan aturan hukum”, Ibu Setiati memungkasi.  
Pembicara ketiga Diser#8, Hasrul Hanif, M.A menyampaikan kajian dari perspektif politik dengan mengetengahkan pembahasan mengenai Quo Vadis Politik Kewarganegaraan. Dosen yang berasal dari Sumenep Madura ini mengawali pemaparan materi dengan melontarkan pertanyaan “Kemana arah politik kewarganegaraan Indonesia saat ini?”. Pertanyaan itu dimunculkan karena di tahun 2016 yang lalu banyak drama pemimpin yang menarik terutama berkaitan dengan tindakan para Kepala Daerah maupun Presiden yang kerap turun langsung ditengah-tengah masyarakat atau yang sering kita pahami dengan istilah “Blusukan”. Berdasarkan fakta tersebut, saat ini ada dua fenomena menarik secara politik, ungkap Hanif. Pertama terjadinya apa yang disebut “populisme baru” yakni aktor politik menjadikan rakyat sebagai mantra karena semua politisi selalu menyebut “demi rakyat/atas nama rakyat” untuk melegitimasi setiap tindak-tanduknya. Tetapi saat ini para politisi memiliki definisi rakyat sendiri-sendiri sesuai “golongan” rakyat yang dikehendakinya. Misalnya, bagi sebagian orang di Indonesia rakyat itu tidak boleh bermata sipit, tidak boleh punya salib harus bulan bintang dan itulah rakyat karena rakyat itu harus berkuasa dan mayoritas, tuturnya. Jadi saat ini kita berhadapan dengan politik dimana rakyat menjadi mantra tetapi pada saat bersamaan rakyat didefinisikan oleh para politisi, oleh para penguasa dan kemudian pada saat bersamaan dia mendefinisikan antagonis nya “siapa yang bukan kita?”, tegas Hanif. Kemudian, yang menarik kedua adalah adanya “Post Truth Politics” yakni Politik dimana data tidak penting. Kondisi saat ini orang tidak penting lagi dengan data yang penting ini datang dari orang tertentu yang dipercaya, dari kelompok tertentu yang kita percaya, dari koran/majalah tertentu yang kita percaya atau disebut “Post Truth Society”. Saat ini, kita berhadapan dengan dunia yang seperti itu, pungkas Hanif.
Pada sesi tanya jawab yang diberikan moderator, nampak para peserta diskusi antusias untuk bertanya. Moderator kemudian memilih 3 penanya dari Dosen, Guru PKn dan Mahasiswa. Tampak bahwa para peserta juga cukup kiritis menyikapi penyampaian materi dari para pembicara. Pada season ini, kemudian satu persatu pembicara menanggapi pertanyaan dari peserta. Suksesnya acara Diser#8 ini tentu perlu terus dipelihara dan dilanjutkan, jelas Halili, MA., selaku Kepala Lab. PKnH FIS UNY sekaligus Direktur LinKDeHAM FIS UNY. (Cucu)