Membumikan Keistimewaan Jogja

Konflik internal Keraton Yogyakarta pasca keluarnya Sabda Raja dan Sabdatama terus berlarut. Meskipun konflik internal keraton telah mengakar sejak lama dalam dinamika kerajaan di Jawa, konflik internal belakangan ini perlu dicermati publik. 
Dinamika dan konfigurasi konflik Keraton antara lain dipengaruhi oleh perubahan struktur dan posisi keraton. Pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono IX simbolisasi Sultan masih kuat. Konflik keraton relatif tertutup. Konflik  mulai mengemuka pada perumusan Undang-Undang Keistimewaan yang perdebatannya sangat serius. Ketika UU Keistimewaan disahkan, struktur dan posisi sosial Keraton melemah, seiring menguatnya watak dan fungsi politik dalam kelembagaan Keraton. Bagi publik, pilihan terbaik adalah membumikan keistimewaan pada level masyarakat sipil, tidak menyandarkannya pada Keraton dan dinamika internal elit di dalamnya.
Demikian garis besar paparan yang mengemuka dalam Diskusi Serial #1 yang diselenggarakan oleh Laboratorium Pendidikan Kewarganegaraan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta, pada hari Jumat (26/2) di Ruang Lab PKnH UNY. Diskusi mengangkat tema “Konflik Internal Keraton: Dinamika dan Implikasi Sosial-Politik di DIY”, dengan nara sumber Dr. Arie Sudjito, M.Si. (Sosiolog UGM) dan Drs. Cholisin, M.Si. (Dosen Ilmu Politik UNY).  
Lebih Jauh Arie Sudjito memaparkan kasus Sabda Raja dan dawuh Raja merupakan suatu hal yang simbolik yang muncul kepermukaan yang itu merupakan representasi keretakan dalam struktur masyarakat keraton yang berkenaan dengan posisi keraton. Sementara itu, “konflik elit keraton tidak hanya digerakkan pada persoalan status sosial, tetapi ada ekonomisasi sosial yang itu efek dari ekonomi politik UU Keistimewaan. Jadi satu sama lain saling berkaitan, dan pertarungan untuk perebutan status sosial hanyalah ekspresi simbolik saja. Pada pebelahan konfigurasi elit politik keraton terletak pada institusi kebudayaan menjadi institusi politik dan komodifikasi budaya menjadi kepentingan ekonomi,” jelasnya.
  Yang terjadi saat ini, menurut Arie, adalah disembeddedness (ketercerabutan) antara penguatan posisi formal Keraton dengan realitas sosial. “Dalam beberapa hal posisi keraton  cukup kuat sebagai representasi sosial ketika terjadi konflik etnis dan agama. Sultan dianggap sebagai simbol perekat. Namun realitasnya saat ini semakin berkurang karena intensitas konflik DIY semakin tinggi,” ungkapnya.
Sedangkan Cholisin memandang bahwa konflik internal keraton merupakan masalah yang cukup serius. “Konflik bukan saja urusan internal keraton melainkan urusan publik”, tegasnya. Maka publik harus merespons dalam perspektif kepublikan dan kewarganegaraan. Cholisin menegaskan, “konflik Keraton jangan hanya dikembalikan penyelesaiannya pada bergulirnya waktu”. Peran kepublikan tersebut dapat dimainkan oleh representasi publik, seperti DPR atau DPRD. Dalam sesi diskusi, Aktivis Lingkar Demokrasi dan Hak Asasi Manusia (LinK-DeHAM), Eka Herdi Nugraha, menyatakan bahwa Peran lembaga Parlemen sangatlah lemah dalam hal ini, sehingga permasalahan konflik ini semakin luas. Lembaga DPR/DPRD terkesan pasif dalam persoalan ini, permasalahan ini seharusnya ditanggapi secara serius oleh lembaga parlemen sehingga permasalahan ini bisa terselesaikan dan tidak menimbulkan dampak yang lebih luas lagi dimasyarakat. 
Kedua pembicara dalam kesempatan tersebut menegaskan bahwa publik harus punya caranya yang lebih substantif dalam menyikapi konflik internal Keraton dalam perspektif keistimewaan. Sebab keistimewaan tidak boleh dimaknasi hanya oleh dinamika Keraton dan elit di DIY. Keistimewaan harus diwujudkan dalam bentuk meningkatkan keadaban masyarakat, sehingga Jogja akan istimewa bagi siapapun. [Halili]