MENYOROT SISI PSIKOLOGI PENGGEMAR DAN PELANGGENGAN BUDAYA PATRIARKI DALAM ROMANTISME PERNIKAHAN SINETRON IKATAN CINTA

 

Laboratorium Komunikasi dan Media (LKM) Program Studi (prodi) Ilmu Komunikasi (Ilkom), Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta (FIS UNY) menyelenggarakan kembali kegiatan diskusi BISIK  (Bincang Asik) yang ke 5. Bisik kali ini mengangkat tema “Mengupas Fenomena Demam Sintetron Ikatan Cinta: “Romantisme Pernikahan di Layar Televisi”. Kegiatan diskusi ini digelar pada Sabtu, (3/7) lalu, mulai dari pukul 13.00 WIB sampai dengan 14.30 WIB secara daring melalui platform Zoom Meeting. BISIK#5 diselenggarakan dengan maksud mempertajam nalar kritis mahasiswa. Selain itu tujuan lannya adalah untuk menelaah lebih lanjut fenomena atau isu-isu yang sedang terjadi saat ini. Dalam kegiatan ini dihadiri oleh 54 peserta yang berasal dari berbagai universitas di Indonesia, serta diikuti juga oleh dosen dan alumni prodi IlkomFIS UNY.

BISIK#5 kali ini mengundang dosen sekaligus ketua jurusan prodi Ilmu Komunikasi  FIS UNY, Dra. Pratiwi Wahyu Widiarti M.Si. sebagai pembahas pertama. Pratiwi membahas tentang psikologi fans. Hadir sebagai pembahas kedua dalam diskusi ini seorang dokter gigi, penulis buku, dan penggiat hak perempuan adalah drg. Dea Safira M.Sos. yang membahas mengenai perempuan dan budaya patriarki dalam sinetron.

Dra. Pratiwi memaparkan bahwa di dalam sebuah sinetron terdapat efek kultivasi, resonansi, exposure, subliminal, dan kelekatan yang ditimbulkan, hal ini dapat berakibat secara tidak sadar akan mengubah pemikiran sadar dari penonton. Sebagai penonton kita harus dapat membedakan antara dunia maya dengan dunia nyata. Sehingga apabila kita mampu membedakannya akan ditemukan sebuah keseimbangan di dalamnya. Pada kesempatan tersebut Dra. Pratiwi mengungkapkan “Agar mampu membedakan dunia maya dan dunia nyata, kita tidak boleh takut dengan dunia nyata itu sendiri. Melainkan berani dalam menghadapi setiap tantangan yang ada di dalamnya.” ungkap Pratiwi.

Selanjutnya drg. Dea sebagai pembahas pada kesempatan ini juga menerangkan fakta yang ada bahwa sinetron di Indonesia saat ini penuh dengan stigma dan stereotip, serta minim terhadap akses representasi perempuan di media yang layak. drg. Dea menggarisbawahi bahwa tidak semua perempuan memiliki pendukung yang baik. Jadi apabila mereka menonton tayangan dengan jalan cerita yang sama dengan realita kehidupannya maka dia akan semakin terpuruk. “Media sebenarnya memiliki peran untuk mengubah narasi. Bisa dengan menyorot nilai-nilai baru yang positif, misalnya dengan menyisipkan nilai-nilai perjuangan perempuan dalam tayangan.” ungkap drg. Dea. Namun yang tidak kalah penting adalah kita harus lebih peka dan dapat memilih tayangan atau informasi yang lebih relatable dengan kehidupan kita dan tentunya memiliki sistem pendukung yang sehat.
(Rahma/Sari)