PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP NYABUK GUNUNG SEBAGAI UPAYA KONSERVASI LAHAN PERTANIAN

Pada awalnya, lahan pertanian yang digunakan masyarakat di lereng Gunung Sumbing merupakan kawasan hutan yang cukup lebat. Masyarakat berbondong-bondong membuka lahan hutan menjadi lahan pertanian, khususnya tembakau. Kondisi ini memungkinkan terjadinya erosi lahan karena tidak adanya tanaman tahunan yang mampu mengikat tanah pada lapisan permukaan, sehingga sedikit demi sedikit lapisan tersebut akan hilang. Menyadari hal tersebut, masyarakat lereng Gunung Sumbing dan Sindoro mulai melakukan kegiatan Nyabuk Gunung yakni cara bercocok tanam dengan membuat teras sawah yang dibentuk menurut garis kontur.

Nyabuk Gunung Sumbing merupakan salah satu upaya masyarakat dalam menjaga keletarian tanah di Desa Butuh, Kecamatan Kalikajar, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Untuk mengetahui persepsi masyarakat tentang Nyabuk Gunung di Desa Butuh, mahasiswa Jurusan Pendidikan Geografi, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta (FIS UNY) yang terdiri dari Mutiara Ayusti Erdany, Nurdianta, dan Sandika Abdi Choirinsani, dengan dosen pembimbing Dra. Mawanti Widyastuti, M.Pd. melakukan penelitian tentang “Persepsi Masyarakat Desa Butuh Terhadap Kegiatan Nyabuk Gunung Sebagai Upaya Konservasi Lahan Pertanian Lereng Barat Laut Gunung Sumbing”

Mutiara menjelaskan, subjek penelitian terdiri dari ketua adat, tokoh masyarakat serta kepala keluarga di Desa Butuh, Kecamatan Kalikajar, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah yang memiliki lahan pertanian di lereng Gunung Sumbing dan bermatapencaharian sebagai petani di Desa Butuh yang menggarap lahan pertanian. Jumlah responden dalam penelitian ini adalah 28 orang yang tersebar di 4 dusun di Desa Butuh.

Persepsi masyarakat Desa Butuh, lanjut Mutiara, menyatakan bahwa nyabuk gunung merupakan kearifan lokal dalam bidang pertanian dengan berbagai istilah di dalamnya yaitu larikan, kotakan, banjaran, ledokan, nggalengi, dan bedengan. Upaya masyarakat dalam meletarikan tanah berhubungan erat dengan penghambatan besarnya erosi lahan yaitu 439,57 ton/ha/tahun. Sehingga diperoleh arahan konservasi lahan berupa hutan alami tidak terganggu atau pengelolaan lahan dengan teras gulud dengan penutup lahan, kemudian ditanami tanaman perkebunan berupa terong belanda, kopi dan teh yang disisipi tanaman berumur pendek dengan sistem tumpang sari.

Lebih rinci, Mutiara menjelaskan bahwa Nyabuk Gunung merupakan kearifan lokal masyarakat lereng Gunung Sumbing dan Sindoro pada bidang pertanian. Di dalam kegiatan nyabuk gunung, terdapat berbagai istilah dan makna yang berkaitan dengan sistem tanam tradisional. Pertama, Larikan yaitu pengelolaan lahan searah kontur dengan pembuatan gundukan-gundukan tanah berupa undakan dan teras-teras horisontal. Kedua, Kotakan yaitu pengelolaan lahan dengan cara memetak-metak unit tertentu pada suatu lahan. Itsilah ini sama dengan terasering atau teras berundak. Ketiga adalah Banjaran. Banjaran merupakan pengelolaan lahan dengan cara membuat gundukan tanah memanjang tegak lurus dengan kontur lereng sehingga bentuk gundukan tanah berbentuk vertikal. Keempat adalah Ledokan. Ledokan merupakan pengelolaan lahan dengan cara membuat kolam-kolam penahan air pada bagian terbawah suatu lahan pertanian. Kelima adalah Nggalengi yang berasal dari kata Galenganyang memiliki arti sama dengan pematang. Sedangkan nggalengi diartikan sebagai upaya pengelolaan lahan oleh masyarakat dengan membentuk pematang-pematang yang dipatok oleh tanaman keras berupa pinus gunung, kopi maupun teh sebagai pembatas antarsa satu lahan dengan lahan lain serta peneduh bagi tanaman lain yang tidak bertahan panas. Keenam adalah Bedengan. Bedengan merupakan istilah lazim yang digunakan masyarakat Desa Butuh yang berarti pembuatan teras-teras maupun gundukan tanah dengan penutup tanah berupa plastik-plastik.

“Nyabuk gunung memiliki hubungan yang sangat erat dengan upaya konservasi lahan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Butuh. Berbagai kegiatan pengelolaan masyarakat berupa larikan, galengan, kotakan, bedengan, dan ledokan berfungsi untuk mencegah penggerusan tanah/ erosi lahan” tutupnya  (Eko)