SEMINAR NASIONAL ILMU SEJARAH BAHAS GERAK LANGKAH PEREKONOMIAN TIONGHOA DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL

Orang Tionghoa selalu mendapat stigma buruk dan sentimen rasialis berkat sejarah panjang yang menimpa mereka. Salah satu yang terus berkembang adalah orang-orang Tionghoa dipandang mendapat kekhususan dalam bidang ekonomi. Bahkan ada pandangan jika orang Tionghoa pasti kaya. Pada kenyataannya dalam lingkup masyarakat Tionghoa ada juga golongan yang miskin. Stereotipe ini semakin berkembang ketika orang-orang Tionghoa mendapat tempat yang berpengaruh di bidang ekonomi. Topik ini menjadi pokok bahasan dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta (FIS UNY) pada hari Selasa (27/11/2018) di Ruang Seminar Digital Library UNY.

Seminar Nasional dengan tema “Tionghoa dalam Bingkai Keindonesiaan: Gerak Langkah Perekonomian Tionghoa dalam Pembangunan Nasional” tersebut dihadiri oleh Dekan, Kaprodi Ilmu Sejarah, dosen dan mahasiswa di lingkungan FIS UNY.  Adapun pembicara seminar adalah Faizatush Solikhah, M.A (Dosen Kearsipan Universitas Gadjah Mada), Dr. Yerry Wirawan (Dosen Universitas Sanata Dharma), dan Frista, SH, SE, M.S.Ak. Dekan FIS UNY, Prof. Dr. Ajat Sudrajat, M.Ag, mengapresiasi kerja seluruh panitia yang telah menyelenggarakan seminar dengan sukses. “Saya berharap seminar dapat menjadi wadah untuk diskusi mendalam tentang perkembangan, sepak terjang dan peran komunitas Tionghoa dalam pembangunan perekonomian di Indonesia” ungkap Ajat

Dalam paparannya, para pembicara seminar nasional tersebut menjelaskan bahwa periode 1965 hingga 1998 dapat dikatakan sebagai periode kemunduran dalam bidang sosial budaya dan politik bagi masyarakat Tionghoa di Indonesia. Peran masyarakat Tionghoa kecil sekali jika dibandingkan dengan periode sebelumnya yaitu periode kolonial dan 20 tahun pertama era kemerdekaan.

Politik segregasi adalah warisan kolonial untuk melanggengkan kekuasaan dan kepentingannya. Untuk mencapai tujuan tersebut sekurangnya ada dua cara. Pertama, seperti kita ketahui jumlah personil pegawai Belanda tidak mencukupi untuk mengelola wilayah seluas dan sekompleks Nusantara. Karenanya pemisahan masyarakat jajahan kolonial satu sama lain menjadi cara paling efektif dan efisien untuk melanggengkan kekuasaan kolonial. Ditambah lagi keberagaman etnis di Nusantara yang kemudian dipertajam menjadi perbedaan sering berubah menjadi pertentangan antar etnis. Kedua, menempatkan masyarakat Tionghoa menjadi pedagang perantara karena sebagai pengumpul panen hasil bumi petani yang kemudian dijual kembali kepada Belanda yg tidak bisa mengisi posisi ini. Pedagang-pedagang pribumi juga tidak bisa menjadi pedagang menengah karena keterkaitannya dengan penguasa-penguasa lokal yang membahayakan posisi Belanda.

Akibat dari praktek panjang kolonialisme ini, masyarakat Tionghoa menjadi terasing terutama dari kaca mata elit politik saat itu. Keterpisahan dari masyarakat lokal terutama di tengah pembentukan negara Indonesia menjadi pokok permasalahan yang diperbincangkan dalam koran-koran Tionghoa Melayu sepanjang awal abad ke-20. Namun harus dicatat, di tingkat kebudayaan dan kehidupan sosial sehari-hari, terjadi proses yang bertolak belakang dari soal hukum dan politik yaitu arus pencampuran sosial budaya yang sangat kuat antara masyarakat Tionghoa dengan masyarakat lokal setempat. Pencampuran budaya tersebut terjadi di kedua masyarakat. Bentuk pencampuran budaya tersebut dapat kita lihat dan bahkan nikmati hingga hari ini mulai dari bahasa, sistem kekerabatan, kuliner, kesenian dsb.

Penjelasan para pembicara tersebut diakhiri dengan sesi tanya jawab dan diskusi. Melalui seminar nasional, ketua panitia seminar berharap paparan yang disampaikan oleh para pembicara dapat memberikan arahan positif dalam menanggapi isu-isu SARA yang marak belakangan ini. (Eko)