UJIAN NASIONAL MASIHKAH SESUAI DENGAN TUJUAN PENDIDIKAN INDONESIA?

Berbicara soal pendidikan merupakan sebuah hal yang tiada habisnya untuk didiskusikan, bukan lantaran masalah momentum peringatan Hari Pendidikan Nasional, namun karena lebih fokus pada refleksi pendidikan yang masih jauh dari harapan. Hadirnya berbagai problem pendidikan mulai dari isu RUU PT, kapitalisme, komersialisasi pendidikan sampai polemik pelaksanaan Ujian Nasional menjadikan tanda tanya kepada kita semua,  mau dibawa kemana pendidikan kita sekarang?

Beberapa hal tersebut yang menjadikan dasar Departemen Sosial Politik Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta (BEM FIS UNY) mengadakan diskusi edukatif terkait polemik Ujian Nasional dengan mengangkat tema “Ujian Nasional: Antara Pemetaan Mutu dan Penentu Kelulusan” pada hari Kamis, (10/5) di Aula FE lantai 2.

Diskusi ini dihadiri puluhan peserta dari berbagai kalangan, baik dari mahasiswa, guru se-D.I.Y dan beberapa pemerhati pendidikan. Diskusi yang dimulai pukul 13.00 wib ini dihadiri pula oleh Birokrat kampus seperti Dekan FIS UNY Prof. Dr. Ajat Sudrajat, M. Ag dan Wakil Dekan III FIS Terry Irenewati, M. Hum. Acara ini mengundang pembicara yang berkompeten, yakni Drs. Aulia Reza Bastian, M. Hum (Dewan Pendidikan D.I.Y), Suwandi, M. Pd (Guru MAN 3 Yogyakarta), dan Vivit Nur Arista Putra (Aktifis Pusaka Pendidikan).

Mengawali acara diskusi tersebut, Ajat Sudrajat mengungkapkan problema pendidikan adalah pendidikan sendiri telah di rampas oleh penguasa yang sudah tidak lagi memberikan kebebasan kepada dunia pendidikan untuk mengembangkan potensi secara maksimal, “Hak-hak pendidikan para siswa telah dirampas para penguasa, lantaran hanya tidak lulus satu pelajaran saja, gugur semua dan sia-sia perjuangan selama 3 tahun lebih dalam belajar” tegas beliau dalam sambutan sekaligus membuka acara.

Mengkritisi adanya Ujian Nasional, Drs. Aulia Reza Bastian, M. Hum, mengungkapkan  dari berbagai segi, salah satunya melihat dari segi filosofis. Menurutnya, Ujian Nasional telah melenceng dari hakikat tujuan pendidikan Indonesia, seperti yang diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara, mendidik itu menuntun agar dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan, namun pada kenyataannya UN sendiri selalu berdampak pada masalah psikologis, baik pendidik maupun peserta didik. Hal lain yang di kritisi lagi adalah UN yang telah melenceng dari pijakan dasar pelaksanaan UN yakni PP 19/2005 Standar Nasional Pendidikan BAB X pasal 68, “isi aturan tersebut hakikatnya jelas UN sebagai penanda bukan sebagai penentu” tegas Aulia reza.

Tidak jauh apa yang diungkapkan oleh Aulia, Suwandi, M. Pd, Guru MAN 3 Yogyakarta mengungkapkan carut-marut pelaksanaan akbar tahunan seperti Ujian Nasional selalu menyebabkan pro-kontra. Perhatian masyarakat terhadap UN sangat besar, terbukti tak sedikit diantara masyarakat berkembang adanya plesetan UN seperti Ujian Niat, Uji Nyali, Uji Nasib, dan lain-lain. Hal ini menandakan terganggunya psikologis masyarakat akibat UN. Kondisi adanya UN telah menjelma menjadi Tuhan baru, banyak diantara siswa mendadak alim, tobat. Namun prihatinnya, ketika sudah selesai ujian tobat dan alim juga selesai, “Hal tersebut menunjukkan realitas contoh akibat korban pendidikan yang hanya mengejar nilai kuantitas saja tanpa menilai sebuah proses” Tegas Suwandi.

Senada yang diungkapkan kedua pembicara diatas, Vivit Nur Arista Putra, mengungkapkan bahwa pelaksanaan UN berimbas pada psikis atau mental pendidik dan peserta didik. Cara pandang dan cara mengajar guru menjadi pragmatis, “Mengukur keberhasilan bukan dari segi hasil, namun seharusnya dari serangkaian proses. Kondisi ini menjadikan sekolah fokus pada mata pelajaran (mapel) yang diujikan, karena UN menyangkut prestise satuan pendidikan. Sehingga kondisi inilah yang menyebabkan potensi adanya kecurangan massal antara pendidik, peserta didik, bahkan sekolah. Semua dilakukan hanya demi satu kata pragmatis yakni LULUS” tegas Vivit. (Ahmad/Sari)