Home DOSEN FIS MENGIKUTI WORLD CONFERENCE DI TEHERAN

Peran pemuda dalam demokratisasi yang sedang berkembang di Timur Tengah dan Afrika menarik perhatian Pemerintah Iran untuk mengadakan World Conference on Youth and Islamic Awakening. Konferensi diikuti oleh hampir 2.000 lebih peserta dari 80-an negara berpenduduk muslim di dunia, dari berbagai madzhab. Indonesia, sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, hanya diwakili oleh sekitar 21 orang, dari kalangan akademisi perguruan tinggi, organisasi mahasiswa, organisasi keagamaan, organisasi non pemerintah, dan pelajar Indonesia di Iran. Satu dari dua akademisi yang mengikuti Konferensi adalah dosen Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta (FIS UNY), Halili.
Puncak acara Konferensi dilaksanakan selama dua hari di Teheran Milad Tower, tanggal 29-30 Januari 2012. Pra dan pasca acara puncak, para peserta dikenalkan dengan Iran dari berbagai aspek melalui kunjungan ke berbagai kota penting, seperti Zona Ekonomi dan Energi di kota Asalouyeh. Kunjungan juga dilakukan ke kota Isfahan, Qom, dan Masyhad. Demikian menurut Halili.
Konferensi dibuka oleh Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad melalui pidato yang sangat filosofis dan inspiratif. Pidato Ali Akbar Velayati, Ketua Dewan Kebangkitan Islam Iran sekaligus penasehat senior Supreme Leader Iran, memungkasi acara bersama pidato dari perwakilan pemuda dari berbagai kawasan Timur Tengah, Eropa, Afrika, Amerika Latin, Asia Timur, dan Asia Tenggara. Di samping sidang pleno di main hall Milad Tower, Konferensi juga menyelenggarakan panel di enam sidang komisi. Halili bergabung dalam diskusi panel di Komisi 3 tentang Weaknesses, Threats, and Dangers of Islamic Awakening.
Banyak pelajaran penting dari Konferensi bagi Indonesia, termasuk bagi dunia perguruan tinggi. “Arab spring yang saat ini sedang bergulir diinisiasi oleh sebagian besar kalangan muda, khususnya dalam organisasi-organisasi non pemerintah dan perguruan tinggi, dengan fasilitasi media dan teknologi informasi dan komunikasi”, ujar Halili. “Catatan lain, kemajuan pesat Iran, terutama di bidang sains dan teknologi, dicapai dalam iklim kemandirian mereka dari campur tangan asing,” tambahnya.
Halili menambahkan, negeri para mullah ini menarik untuk kita kaji, terutama dari sisi figur politiknya, reformasi ilmu eksakta dan sosialnya, ketahanan ekonominya di tengah gempuran berbagai embargo Barat. Menarik juga bagaimana mereka menanamkan karakter dan kebangsaan mereka.
Kesan tentang Iran? “Negara empat musim seperti Eropa. Menyenangkan. Realitas di dalam negeri mereka berbeda jauh dari gambaran yang dicitrakan oleh media luar negeri, khususnya Barat”, pungkas Dosen Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum tersebut mengakhiri cerita. (Sari)