ORGANISASI MAHASISWA, EKSPERIMEN KENEGARAWAN

Kenegarawanan merupakan kesatuan kepala dan hati yang menempatkan kebaikan bersama (common good) dan maslahat khalayak (public interest) jauh di atas kepentingan diri dan kelompok. Karakter itulah yang mesti digembleng oleh mahasiswa melalui laboratorium organisasi mahasiswa (Ormawa) baik universiter maupun ekstra universiter.


Demikian garis besar yang dinyatakan oleh Halili, Dosen Pendidikan Kewarganegaraan FISE UNY, pembicara tunggal dalam Studium General Pelantikan Pengurus Organisasi Mahasiswa se-Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta. Studium General dihadiri oleh para aktivis Himpunan Mahasiswa Program Studi (Hima), Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM), dan Unit Kegiatan Mahasiswa Fakultas (UKMF).


Halili menyatakan, aktivis Ormawa merupakan orang-orang pilihan yang mendapatkan mandat mahasiswa melalui Pemilu Mahasiswa. Karena itu, mereka harus menjadi pribadi unggul di ranah intelektualitas dan integritas, teladan sekaligus cermin bagi komunitasnya. Dengan demikian Ormawa akan menjadi pusat segala keistimewaan mahasiswa (center of excellence). “Ormawa bukan ruang untuk menumpahkan hasrat elitis dan membangun kepentingan oligarkis,” tegas Halili.


Persoalannya, lanjut halili, fenomena minus elitisme dan oligarki itulah yang banyak mengemuka. Begitu menduduki jabatan dalam Ormawa, tidak sedikit mahasiswa yang menampakkan watak elitis yang jauh dari akar rumput. Legitimasi elektoral yang mereka dapatkan dari seluruh mahasiswa cenderung dimanfaatkan untuk akomodasi kelompoknya sendiri secara berlebihan. Bahkan dalam keadaan tertentu, organisasi diposisikan tidak lebih penting dari kepentingan kelompok dimana elit Ormawa berafiliasi.


Fenomena demikian jelas problem serius bagi organisasi mahasiswa bila mereka mengimajinasikan diri menjadi stok kepemimpinan nasional. Di level negara belakangan menonjol watak elitis dan oligarkis, dimana sebagian besar pejabat memikirkan kepentingan diri dan kelompoknya. “Jadinya, negara mengalami kemiskinan kepemimpinan dan kenegarawanan,” ujar pria berkacamata itu.


Kecenderungan tersebut, papar Halili, bertolakbelakang dengan karakter dan perilaku yang ditunjukkan oleh para pendiri bangsa. Contoh kenegarawanan dapat dilihat dalam diri Sukarno, Hatta, Hamengkubuwono IX, Tan Malaka dan banyak lainnya. Bung Hatta mengundurkan diri secara negarawan dari jabatan Wapres, selain karena tidak sejalan dengan Bung Karno, juga demi kepentingan stabilitas kepemimpinan negara yang baru seumur jagung. Atas nama kepentingan negara, HB IX ikhlas tidak dicatat sejarah resmi sebagai pelopor Serangan Umum 1 Maret. Tan Malaka “sembunyi” dari lingkaran kepemimpinan di antaranya demi kepentingan republik yang sudah ditulisnya dalam buku Naar de Republiek Indonesia jauh sebelum Sumpah Pemuda. Bung Karno menempatkan menempatkan negara sebagai bagian terbesar urusan sepanjang hayatnya.


Watak-watak kenegarawanan demikian yang dibutuhkan dalam kepemimpinan nasional masa kini dan mendatang. Mahasiswa merupakan iron stock kepemimpinan masa depan. Karenanya karakter kuat seorang pemimpin harus dibangun dan diuji sejak keterlibatan mereka dalam Ormawa. Tantangan dalam proses latihan dan pembangunan karakter kepemimpinan tersebut tidak mudah.


Kecenderungan oligarki dan elitisme di kalangan mahasiswa belakangan ini, menurut Halili, tantangan berat bagi masa depan Ormawa di tengah mayoritas mahasiswa yang hanya diam dan tak berorganisasi (silent majority). Namun kegairahan aktivis mahasiswa sebagai komunitas yang terus belajar (learning community) merupakan modal berharga untuk optimalisasi fungsi Ormawa di masa-masa mendatang. “Itulah alasan untuk tetap optimis menatap peran futuristik Ormawa,” tegasnya yakin. (LieL)