WACANA LGBT DI SKH REPUBLIKA, DITELITI DOSEN FIS UNY

Isu lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) menjadi perbincangan dan praktik yang tabu bagi masyarakat ketimuran. Namun, selama kurun waktu akhir Januari hingga pertengahan Maret 2016 menjadi perbincangan yang menarik. Baik media cetak maupun elektronik berlomba-lomba menaikkan isu ini. Salah satu media cetak yang banyak mengangkat isu LGBT adalah SKH Republika. Dr. Suranto, M.Si., M.Pd, salah satu dosen UNY bersama tim melakukan penelitian tentang isu LGBT di SKH Republika. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa secara umum SKH Republika menawarkan wacana anti LGBT melalui pemilihan dan kutipan pendapat narasumber.
Suranto menjelaskan, “Penelitian ini menggunakan pendekatan analisis wacana kritis (critical discourse analysis) dengan metode analisis wacana Van Dijk. Dalam penelitian ini juga terdapat dua pertanyaan yang diajukan. Pertama, bagaimana representasi ideologi yang ditampilkan oleh SKH Republika dalam publikasi mengenai LGBT? Kedua, bagaimana representasi seksualitas yang ditampilkan oleh SKH Republika dalam publikasi mengenai LGBT?” ujarnya.
Penelitian yang berlangsung dari Maret sampai Oktober 2016 ini dilakukan melalui beberapa tahap. Benni Setiawan, M.S.I. (salah satu anggota peneliti) menjelaskan tahapan penelitian, “Pertama, membuat kliping/memotong berita dan opini dari Harian Republika yang terkait LGBT dari 24 Januari-31 Maret 2016. Kedua, mengkoding berita dan opini yang terkait dengan LGBT. Ketiga, menganalisis menggunakan analisis wacana Van Dijk. Terakhir, didapat hasil telaah wacana kritis dari penelitian ini,” ungkap Benni.
Dijelaskan oleh keduanya, bahwa ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari hasil telaah wacana kritis. Suranto menjelaskan, “SKH Republika menggunakan pendekatan representasi intentional yang ditunjukkan dengan pemilihan narasumber dan penulis kolom opini. Mereka memilih subyek heteroseksual yang memiliki afiliasi dengan kelompok Islam konservatif dan moderat.” urai Ranto. Ditambahkan Benni, “Selanjutnya, ada dua representasi ideologi yang dimuat, yaitu ideologi liberalisme dan universalisme. Ideologi liberalisme harus ditolak karena bertentangan dengan nilai-nilai tradisi dan agama. Sedangkan ideologi universalisme dianggap bertentangan dengan norma dan peraturan nasional.” imbuhnya.
Dari penelitian tersebut, disampaikan oleh ketua tim peneliti, Suranto, “Kesimpulan terakhir dari penelitian ini ialah representasi seksualitas yang sengaja ditempatkan SKH Republika. Yaitu pengetahuan dan institusi otoritatif. Redaksi memilih pengetahuan mengenai LGBT mengikuti pengetahuan bahwa LGBT terjadi karena pergaulan sosial bukan genetika. Kedua, lembaga otoritatif yang boleh memperbincangkan LGBT adalah institusi agama, negara, dan pendidikan. Pelaku LGBT tidak dilibatkan dalam diskusi. Redaksi tidak memberikan celah penafsiran baru terhadap praktik LGBT.” ungkap Ranto mengakhiri.(tari/beni/sari)