DOSEN FIS UNY MENELITI KOLABORASI MILITER DAN KELOMPOK AGAMA DALAM PERANG GERILYA

Program Studi (prodi) Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta (FIS UNY) beberapa waktu lalu merilis hasil penelitian yang membahas tentang Perang Gerilya di Yogyakarta. Perang ini adalah bagian dari Perang Kemerdekaan yang melibatkan rakyat hingga kelompok agama.
Kajian mengenai hal tersebut dituangkan dalam Penelitian yang dilakukan oleh tim dari prodi Ilmu Sejarah FIS UNY. Tim Peneliti yang dipimpin oleh Mudji Hartono, M.Hum ini memilih Judul penelitiannya “Peranan SWK 101 dan Ulama Muhammadiyah Dalam Perang Kemerdekaan II di Yogyakarta.” Penelitian ini memiliki empat tahapan metode yang mesti dilalui oleh tim Peneliti. Tahapan tersebut terdiri dari Pencarian sumber (Heurisitik), Kritik sumber, Interpretasi, dan Historiografi. Tim Peneliti yang sekaligus merangkap sebagai Sejarawan berusaha membuat rekonstruksi jejak masa lampau dengan menggunakan metode Penelitian Sejarah.
Dalam penelitian tersebut disampaikan oleh Mudji bahwa, perjanjanjian Renville 1948 adalah salah satu wujud dari perjuangan Diplomasi Indonesia pasca Proklamasi. Perjanjian yang salah satu isinya adalah hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatra sebagai wilayah Indonesia. Namun, Belanda sendiri justru melanggar perjanjian tersebut. Yogyakarta yang saat itu berstatus sebagai Ibukota Negara menjadi sasaran utama Agresi Militer 2 pada tanggal 1 Desember 1948.  Sedangkan tujuan dari serangan tersebut tidak lain dan tidak bukan untuk merebut kembali Indonesia dari tangan rakyat.
Mudji menambahkan, “Agresi Militer 1 memberikan sedikit pembelajaran bagi para Pejuang Indonesia. Di bawah Komando Jenderal Besar Soedirman, aksi Gerilya pun dilancarkan dengan menghambat laju orang keluar-masuk kota. Atas Perintah Siasat No.1 Tahun 1948 yang dikeluarkan oleh Sang Jenderal Besar, kantong-kantong Gerilya atau Wehrkreise pun berdiri di berbagai penjuru daerah sebagai basis pertahanan. Di Yogyakarta sendiri memiliki Sub Wehrkreise (SWK) 101 yang dipimpin oleh Letnan Satu Marsoedi. Satuan ini bermarkas di depan Kraton ini berposisi di tengah kota. Tujuan SWK 101 ialah mencari informasi tentang gerak-gerik lawan serta menjadi pusat informasi dari Sub Wehrkreise lainnya.” urai Mudji.
Disampaikan pula oleh peneliti, bahwa tak hanya Militer, berbagai kalangan serta kelompok masyarakat pun turut andil dalam usaha pergerakan. Salah satunya ialah kelompok Religius Muhammdiyah yang ikut berjuang sebagai bagian dari Jihad Fii Sabilillah. Para ulama Muhammadiyah menginisiasi langsung aksi ini. Bagi mereka, langkah ini ibarat wujud nyata para ulama yang biasanya sekedar mengutarakan wacana. Berkat Para Ulama, pemuda dari berbagai penjuru desa mendaftarkan diri sebagai bagian dari Askar Perang Sabil.
Para peneliti juga menyampaikan dalam penelitian mereka bahwa “Sejauh ini, kita hanya mengetahui Gerilya hanya sebatas kalangan militer. Namun penelitian ini mengupas secara mendalam bagaimana rakyat juga ikut berperan aktif dalam perjuangan. SWK 101 sendiri adalah bentuk dari perjuangan Militer dari TNI. Sementara itu, para Ulama Muhammadiyah pun turut membantu dengan mengajak serta rakyat untuk berjuang. Rakyat yang didominasi oleh pemuda ini lalu dilatih oleh TNI agar siap sedia di medan perang.” tambah Mudji.
Tim peneliti menyimpulkan, “Jika melihat rekonstruksi peristiwa tadi, terlihat bahwa adanya kerjasama yang kompleks dari berbagai kelompok masyarakat. Mulai dari TNI, Pemerintah, Kelompok Agama, hingga Rakyat kecil bersatu padu demi mempertahankan Kemerdekaan. Peneltian tentang SWK 101 dan Ulama Muhamadiyah memberikan contoh nyata bagaimana sejarah berbicara tentang keselarasan. Semangat ini perlu dipertahankan sebagaimana tertulis pada tujuan penelitian ini. Tak hanya itu, peneltian ini diharapkan jadi rujukan serta acuan masyarakat akan kebutuhan literatur tentang perjuangan rakyat . urai dan harap Mudji mengakhiri. (Hery Setiawan/Sari).