DOSEN FIS UNY PRESENTASI DI KIRGIZSTAN

Dosen Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta, Halili, S.Pd., M.A. diundang oleh Komisi Negara Urusan Agama, Republik Kirgizstan, untuk berbicara mengenai pengalaman Indonesia dalam hal hubungan negara dengan agama. Dosen Ilmu Politik Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum tersebut menyampaikan presentasi tentang “Political Dynamics of Relationship between State and religions: Experience of Indonesia”.

Ceramah tersebut disajikan dalam sebuah konferensi internasional yang diselenggarakan oleh Pemerintah Republik Kirgizstan tentang “Islam di Negara Sekuler Modern” di kompleks State Residence No. 1 Republik Kirgizstan. Kegiatan tersebut berlangsung pada tanggal 28 dan 29 September 2017, dihadiri oleh delegasi dari 20 negara plus Uni Eropa dan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB).

Dalam presentasinya, Halili menyatakan bahwa Indonesia menawarkan jalan ketiga (the third way) di antara dua polar relasi negara dan agama di dunia, yaitu negara teokrasi (negara agama) dan negara sekuler yang memisahkan sepenuhnya agama dari negara. Jalan ketiga yang dimaksud yaitu negara Pancasila berdasarkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa.

Secara konseptual, tawaran para pendiri negara bangsa Indonesia tersebut, menurut Halili, merupakan terobosan yang melampaui jaman untuk konteks negara-negara dengan penduduk mayoritas Islam. Dalam perkembangannya hingga kini, negara-negara Islam di Timur Tengah yang relatif monokultural sebagian besar terjerumus pada prahara konflik sipil dan politik serta perang saudara. Sedangkan negara-negara berpenduduk mayoritas muslim yang mengambil jalur sekuler sepenuhnya, seperti Turki pada masanya dan negara-negara bekas Uni Soviet, jatuh dalam dilema-dilema kultural, juga sosial politik, yang diakibatkan oleh labilnya panduan spiritual mereka dalam menyelenggarakan negara.

 Dalam paparannya, pria asal Madura ini memaparkan bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 29 Ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia, relasi negara dan agama-agama di Tanah Air sangat jelas, bahwa negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam konteks itu, agama menjamin setiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadah secara merdeka sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu, sebagaimana ketentuan Ayat (2) pasal yang sama. Dengan demikian, negara tidak mendasarkan diri pada agama tertentu, namun memberikan kebebasan kepada setiap penduduknya untuk memeluk agama apapun.

Untuk melaksanakan gagasan dasar Negara Pancasila tersebut, menurut Halili, dibutuhkan konsistensi dalam impelementasi ketentuan konstitusional tersebut. Hal itu antara lain membutuhkan empat faktor yang kongruen, yaitu peraturan perundang-undangan turunannya, kepemimpinan kepala negara, perilaku aparatur negara dan daya dukung sosial kemasyarakatan. Tanpa itu semua, jalan ketiga tersebut tetap memberikan potensi diskriminasi dan pelanggaran atas hak-hak minoritas agama untuk beragama dan beribadah secara merdeka. “Menurut beberapa lembaga riset, seperti SETARA Institute, pelanggaran-pelanggaran tersebut kerap terjadi dalam satu dekade terakhir,” pungkas Halili.(Eko)