GLOBALISASI ANCAM EKSISTENSI MASYARAKAT ADAT KAMPUNG TUJUH

Masyarakat adat di berbagai wilayah kepulauan nusantara memiliki beragam karakter, sebagian memiliki lembaga adat dengan mekanisme kelembagaan yang rumit, sebagian lain menjalankan mekanisme kelembagaan yang sederhana. Salah satu masyarakat adat adalah masyarakat adat Kampung Tujuh di Dusun Nglanggeran Wetan, RT 19/RW 04, Desa Nglanggeran, Kecamatan Patuk, Gunungkidul, Yogyakarta.  Pada tahun 2015, Kampung Tujuh menjadi salah satu objek destinasi wisata di desa wisata Nglanggeran. Dengan ditetapkannya Kampung Tujuh menjadi objek wisata tentu berdampak pada masuknya pengaruh globalisasi ke dalam masyarakat adat tersebut. Topik ini menjadi kajian mahasiswa jurusan Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum (PKnH) Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta (FIS UNY) yang terdiri dari Anisa Eka Pratiwi, Sugeng Triyono, Imam Rezkiyanto, Achmad Sidiq Asad, Dyah Ayu Khollimah sebagai bagian dari Program Kreativitas Mahasiswa (PKM).

Anisa menjelaskan bahwa masyarakat adat Kampung Tujuh telah terpengaruh oleh globalisasi. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa bukti diantaranya adalah masuknya teknologi modern ke dalam masyarakat adat Kampung Tujuh, misalnya listrik, handphone, televisi, radio, sepeda motor. Masyarakat adat Kampung Tujuh juga menggunakan jaringan internet dalam berkomunikasi antar warga, misalnya dalam mengundang warga masyarakat dalam acara adat menggunakan Whatsapp. “Selain itu,  mata pencaharian masyarakat adat Kampung Tujuh yang dulunya mengelola kekayaan alam yang ada di kampung itu, kini mereka telah mencari mata pencaharian lain diluar Kampung Tujuh contohnya yang dulunya petani kini menjadi pemandu tour desa wisata Nglanggeran” papar mahasiswa PKnH tersebut.

Lanjut Anisa, meskipun telah terpengaruh oleh globalisasi, masyarakat adat Kampung Tujuh masih tetap mempertahankan nilai-nilai adat yang ada misalnya Masyarakat adat Kampung Tujuh masih memiliki nilai komunal yang tinggi. Hal tersebut terwujud dalam kegiatan Tingalan, Tayub/Ledek, Rasulan, Ngabekten,Wiwitan, dan Mong-Mong Pedet. Selain itu, masyarakat adat Kampung Tujuh masih menganggap penting cerita yang sudah turun temurun dari leluhur mereka bahwa wilayah tersebut hanya bisa dihuni oleh 7 Kepala Keluarga. Masyarakat juga masih mempercayai mitos-mitos dan pantangan dari leluhur yang sudah turun temurun, contohnya pantangan untuk menyelenggarakan pertunjukkan wayang kulit di sisi desa sebelah utara, sisi desa sebelah selatan dan barat boleh menyelenggarakan pertunjukkan wayang kulit namun tidak boleh membelakangi gunung api purba Nglanggeran.

“Masyarakat adat Kampung Tujuh juga mempertahankan nilai adat dengan melakukan penghormatan dan menjaga keaslian terhadap tempat-tempat yang dianggap sakral. Seperti sumber mata air (Tlogo) dengan diletakkannya sesaji dan ritual-ritual di Tlogo tersebut. Adanya jejak kuda sembrani yang dianggap masayarakat Kampung Tujuh sebagai jejak kuda tunggangannya bidadari. Jejak kuda tersebut berada disebelah timur sumber mata air pada batu besar. Jejak kuda tersebut ada tiga namun kini hanya ada 1 (satu). Dua jejak kuda telah diambil oleh para abdi dalem keraton Yogyakarta. Makam atau kuburan masyarakat adat kampung tujuh yang dianggap sakral oleh masyarakat tidak boleh dipotret dengan kamera oleh pengunjung” paparnya

Anisa menambahkan upaya yang dilakukan dalam mempertahankan eksistensi masyarakat adat Kampung Tujuh antara lain saling berkeja sama mendokumentasikan masyarakat adat Kampung Tujuh dalam bentuk buku, dan memberikan edukasi mengenai nilai-nilai adat yang ada pada Kampung Tujuh kepada generasi selanjutnya, sehingga tidak tergerus oleh globalisasi dan tidak ditinggalkan. Upaya tersebut didukung oleh Dinas Kebudayaan dan  Pariwisata Gunungkidul dengan memberikan bantuan dana guna mengembangkan berbagai kegiatan adat yang ada di Kampung Tujuh serta diikutsertakannya masyarakat adat Kampung Tujuh ke dalam Pameran Komunitas Adat yang diselenggarakan di Semarang tahun 2015 oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Gunungkidul. (Eko)