TEPO SELIRO SEBAGAI FILTER PENGARUH MODERNISASI

“Tepo seliro” merupakan salah satu kearifan lokal masyarakat Jawa.. Kearifan ini mengandung arti  bahwasannya dalam menjalani kehidupan sehari-hari terutama dalam berkomunikasi harus memperhatikan perasaan orang yang diajak berkomunikasi. Seseorang harus memandang lawan bicaranya sebagai orang yang pantas untuk dihormati. Salah satu bentuk penghormatan terhadap orang lain adalah dengan memposisikan perkataan seseorang sebagai hal yang penting. Untuk mengetahui peran “tepo seliro” sebagai kearifan lokal masyarakat Jawa dalam menyaring pengaruh modernisasi di era digital serta menjelaskan cara penginternalisasian “tepo seliro” pada generasi muda, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta (FIS UNY) yang terdiri dari Kristina, Puput Febrianti, Maysa Maharani E.P, dan Dewi Novitasari melakukan penelitian tentang “Tepo Seliro: Kearifan Lokal Masyarakat Jawa Sebagai Filter Pengaruh Modernisasi Pada Era Digital”

Kristina menjelaskan bahwa “tepo seliro” dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai  “tenggang rasa”. Namun, tenggang rasa dalam masyarakat Jawa ini lebih halus dan memuat nilai-nilai keluhuran lain. Menurut Kristina, “Tepo seliro” perlu diinternalisasikan dalam diri setiap individu sebagai bentuk penghormatan terhadap orang lain khususnya generasi muda untuk menyaring pengaruh-pengaruh negatif dari adaya modernisasi di tengah arus digital. Penginternalisasian dapat dilakukan melalui kegiatan ekstrakurikuler di lingkungan sekolah dan pembiasaan norma-norma di lingkungan sosial.

“Tepo seliro juga dapat menjadi solusi dampak negatif modernisasi. Generasi muda pengguna smartphone akan tetap menghargai orang-orang yang berbicara secara langsung. Mereka akan lebih memprioritaskan orang yang sedang berbicara kepadanya. Tepo seliro membawa para generasi muda pengguna smartphone tetap pada interaksi dan komunikasi yang baik” paparnya

Hasil penelitian mahasiswa FIS UNY tersebut menunjukkan bahwa SMAN 9 Yogyakarta sebagai sekolah berbasis budaya membuat program-program yang bertujuan untuk mengenalkan dan menanamkan nilai-nilai budaya, terutama budaya jawa 3S yakni senyum, sapa, salam melekat dalam pribadi warga sekolah. 3S didukung oleh IMMAN (Inggih, Matur Nuwun, Mangga, Nuwun Sewu).

Kristina menambahkan, hasil observasi didapati 10 siswa memasuki perpustakaan. Ketika masuk mereka mengucapkan salam dan menjelaskan pada pegawai alasan mereka berkunjung saat jam pelajaran. Dari sepuluh orang tersebut, dua diantaranya mengoperasikan smartphone ketika duduk di kursi perpustakaan. Akan tetapi mereka tetap memperhatikan lawan bicaranya dan memilih untuk tidak mengoperasikan smartphonenya ketika berbicara. Disisi lain, lebih tepatnya di depan ruang tata usaha, terdapat tiga siswa perempuan yang sedang bercengkrama. Tidak ada satupun dari mereka yang mengoperasikan smartphone ketika mereka bercengkrama. (Eko)