HIMA DILOGI GELAR DISKUSI “MENYINGKAP TIRAI PERISTIWA 30 SEPTEMBER 1965”

Bicara mengenai kebenaran sejarah, belum lama ini bangsa kita memperingati peristiwa yang dikenal dengan nama Gerakan 30 September tahun 1965. Kebenaran fakta sejarah akan peristiwa 1965 yang selama ini ada dalam masyarakat masih berupa narasi tunggal warisan orde baru, sehingga menyebabkan kerugian turun-temurun bagi seluruh generasi bangsa. Kerugian intelektual yang didapatkan dari pemelintiran sejarah pada masa orde baru hingga detik ini menyebabkan mispresepsi masyarakat. Meski ditengah pandemi covid-19 tidak menghalangi kegiatan diskusi mahasiswa, oleh karenanya Himpunan Mahasiswa (HIMA) Pendidikan Sosiologi (Dilogi) Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta (FIS UNY), Senin (05/10) lalu. Diskusi dengan tema “Menyingkap Tirai Perisiwa 30 September 1965”. Diskusi daring tersebut, menghadirkan pembicara Kuncoro Hadi, M.A, dosen sekaligus peneliti di prodi Ilmu Sejarah FIS UNY. Kegiatan tersebut  diikuti oleh ±65 mahasiswa FIS UNY menggunakan media google meeting.
Dijelaskan Chrisantia Sekar, Kepala Divisi Penalaran dan Pengembangan Mahasiswa (PPM), diskusi dimulai pukul 18.45 dan berakhir pukul 20.30 WIB, dalam diskusi tersebut, Kuncoro Hadi, Menjelaskan tentang penyebutan, anakronisme sejarah peristiwa terjadi pada 1 Oktober dini hari bukan terjadi pada tanggal 30 September. Penyebutan yang benar adalah gerakan 30 September bukan peristiwa 30 September, kemudian hal-hal yang melatarbelakangi adanya gerakan 30 September. Selain akronimisme, Kuncoro juga memaparkan dalam aspek etimologi atau pemaknaan. Kuncoro menjelaskan, pemaknaan diawal yang banyak diketahui masayarakat adalah “kudeta” namun, seiring berjalannya waktu berubah menjadi “pemberontakan”. Sebenarnya gerakan 30 September ini lebih tepat disebut sebagai “kudeta”. Karena adanya pendemisioneran kabinet. Selain itu Kuncoro juga mengungkapkan “Sejarah reformasi ada gugatan, partai Komunis Indonesia (PKI) elitnya itu terlibat, kita harus pandai menelaah apakah seluruh anggota PKI terlibat dalam gerakan 30 September tersebut?”
Di akhir sesi Kuncoro menjelaskan tentang politik identitas, posisi pra dan pasca gerakan 30 September. “Posisi pra: politik identitas adanya labelling-labelling. Selalu ada sebutan kaum revolusioner dan untuk kaum yang kontra dengan revolusioner disebut dengan kaum kontra revolusioner. Pasca gerakan: muncul kekerasan yang dinamakan “gerakan aksi sepihak”. Ada dua kaum yaitu kalangan pancasilais dan kalangan non pancasilais.Ungkap Kuncoro yang selanjutnya mendapatkan respon positif dari beberapa peserta dengan menyampaikan pertanyaan dan diskusi menarik mengenai G 30 S (FTK&Sari)