Launching Buku BEM FISE UNY : Dari Kampus UNY untuk Indonesia Baru

Menulis itu bekerja untuk keabadian. Begitulah yang disampaikan Pramodya Ananta Toer, sastrawan revolusioner yang pernah dimiliki bangsa ini. Budaya membaca, menulis dan berdiskusi yang sempat menjadi trade mark mahasiswa bertahun-tahun lalu, saat ini nampaknya mulai mengalami degradasi. “Sebagai mahasiswa maka sudah sepantasnya untuk aktif membaca, berdiskusi dan menulis sebagai bentuk kongkret dari status intelektual muda”, ujar Azwan Nurkholis Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta (BEM FISE UNY) Tahun 2010 dalam sambutannya membuka acara launching Buku BEM FISE UNY “Percik-Percik Pemikiran Kritis: Dari kampus UNY untuk Indonesia Baru.” Acara berlangsung di ruang Ki Hajar Dewantara, dimulai pada pukul 09.00 pagi (27/1) ini dihadiri Sardiman AM, M.Pd Dekan FISE UNY, Suhadi Purwantara, M.Si. Pembantu Dekan I FISE UNY, Kepala Perpustakaan UNY, Dosen serta mahasiswa dan pengurus organisasi kemahasiswaan dalam lingkup FISE UNY.


Intelektual muda

“Mahasiswa itu sejak zaman Proklamasi hingga saat ini, tetap mempunyai satu stempel yaitu: Intelektual muda”, ujar Sardiman. Stempel sebagai intelektual muda bisa jadi saat ini mulai sulit untuk didapatkan. Hal ini dibuktikan bahwa pada generasi terdahulu 98 % aktifis mahasiswa merupakan mahasiswa yang penuh prestasi. Realitas menunjukkan seringkali para aktifis terjebak dalam ruang-ruang politik semata, tetapi melupakan sisi akademis dan intelektual.  Demonstrasi yang diwarnai kericuhan merupakan gambaran nyata bahwa mahasiswa kehilangan sentuhan intelektualitas.

Kultur membaca, menulis dan berdiskusi yang mulai menurun juga diungkapkan oleh Ana Rosdiana, Ketua Departemen Sosial Politik BEM FISE UNY. Ia ungkapkan kegelisahannya dalam prolog, bahwa perubahan kondisi zaman tidak hanya menggeser moralitas pemuda, tetapi juga menggeser tiga kultur (membaca, menulis, diskusi) sehingga mulai hilang dalam diri mahasiswa.

Menurut Ana, ada indikasi terjadinya involusi dalam gerakan mahasiswa dari waktu ke waktu. Secara kuantitas, jumlah kader dalam organisasi mahasiswa terbilang banyak. Sayangnya hanya sedikit dari para aktifis yang mempunyai kapasitas intelektual yang mumpuni.

Menumbuhkan kultur

Berdasarkan realitas itulah maka perlu upaya untuk menumbuhkan kultur tersebut. Ruang-ruang diskusi harus dibuka lebar oleh semua pihak, apalagi oleh organisasi kemahasiswaan. Dari mulai tingkat jurusan hingga fakultas harus turut mendorong bertumbuhnya budaya intelektual ini.

Sardiman dan sivitas akademika UNY yang lain, termasuk Ketua Majelis Permusyawaratan Mahasiswa Republik Mahasiswa (MPM ReMa) UNY, menyatakan menyambut gembira hadirnya buku kecil yang merupakan kumpulan kajian dari BEM FISE UNY.

Buku “Percik-Percik Pemikiran Kritis: Dari kampus UNY untuk Indonesia Baru” merupakan bukti nyata bahwa ada segelintir mahasiswa yang tetap mempertahankan idealisme sebagai intelektual muda. Seperti yang diungkapkan dalam prolog “Kami persembahkan buah pemikiran ini untuk bangsa sebagai wujud cinta dan kepedulian kami. Satu langkah sederhana namun semoga banyak memberikan inspirasi. Dari Kampus UNY untuk Indonesia.” [triyanto]